Pangeran Charles Sebagai Patron OCIS
Surat Shofwan
Karim dari London (7):
Pangeran Charles
Sebagai Patron OCIS
Sahabatku Bagindo H. Darlis, Cucu
Magek Dirih Sutan Zaili, Hasril Chaniago dan Eko Yance. Dialog kami berjalan
hampir satu setengah jam. Menurut Farhan, Centre ini di dalam mengangkat dewan
pembina dan penyantunnya apalagi manajeman dan staff pengelola, bebas dari
kaitan politik dan ideologi. Direkttur OCIS yang berstatus the Prince of Wales
Fellow, Magdalena College, Oxford itu, menekankan fungsi netralitas dan bersih dari segala yang berbau
non-akademik.
Pertimbangan semata-mata berdasarkan kualitas dan
kapasitas perorangan. Tingkat profesionalitas dan ilmu serta wibawa mereka di
dunia Islam yang menentukan. Mereka yang diangkat
menjadi anggota Dewan Pembina dan Penyantun
benar-benar yang berkaliber internasional. Dari Indonesia baru ada
almarhum Dr. Mohammad Natsir, kata Farhan berkebangsaan India itu.
Dipilihnya Pak Natsir, tidak ada kaitannya dengan kapasitas tokoh
itu dengan Masyumi dulunya atau Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yang dipimpinnya belakangan. Natsir pernah
bersama-sama duduk di dalam Board of Trustees, sebagai pendiri centre ini
bersama S. Abul Hasan Ali Nadwi dari India .
Di dalam fikiran saya, pandangan
pemerintah, ilmuwan dan cendekiawan Inggris kepada Nastir memang amat tinggi.
Natsir menguasai paling kurang lima bahasa asing. Inggris, Arab, Belanda, Prancis dan Latin. Bahakan
menurut salah satu sumber secara pasif, Natsir juga menguasai Bahasa Jerman,
Spanyol dan Jepang. Nastir menguasai teologi Islam dan multi agama. Menguasai
filsafat dan sumber klasik lainnya.
Bayangkan
pada tahun 1976, ketika diadakan pameran dan koferensi Islam di sini,
dari Indonesia yang diminta menyampaikan sambutan hanyalah Mohammad Natsir.
Waktu itu pameran dan konferensi merupakan proyek Ingris yang amat prestisius
dan dibuka oleh Ratu Elyzabeth.
Farhan mengatakan, ia
juga kenal dengan tokoh Islam lainnya di
Indonesia. Ia pernah ke Indonesia dan sangat kenal dengan Persyarikatan dan
Gerakan Muhammadiyah.Sahabat Indonesianya tentu saja Syafii Maarif, Nurcholish
Madjid, dan Din Syamsuddin. Ia kenal
Amien Rais, Yahya Muhaimin dan Almarhum Anwar Haryono. Ia mengatakan, OCIS tidak memfokuskan kepada kajian dan
studi, riset dan publikasi kepada wilayah dunia Islam tertentu saja .
Bagi OCIS semuanya penting.
Yang pokok, proposal yang diajukan benar-benar bermanfaat untuk kemajuan
Islam.Ketika saya tawarkan datang memberikan lecture di Padang, sepontas dijawabnya bersedia. Tetapi yang
mengundang haruslah Pimpian Pusat Muhammadiyah. Artinya harus tingkat pusat
atau nasional. Ia pun menyarankan, bagi akademisi Indonesia yang berminat di
antaranya melalui sponsor British Council Jakarta.
Melalui “centre” ini, peluang terbuka luas untuk
meningkatkan pemahaman dan pengertian tentang budaya dan peradaban Islam.
Komitmen utama adalah kemajuan akademik , pengajaran Islam, riset, publikasi
untuk menumbuhkan, memelihara dan menyuburkan dialog di dalam kerjasama
masyarakat akademik global.
Hal itu mendorong studi multidisiplin tentang dunia Islam sebagai kelengkapan tradisi
panjang studi dan riset Islam di Oxford. Keadaan ini semakin kondusif. Di
antaranya lantaran ada lima ribu orang kaum muslimin di antara 35 ribu warga
Oxford yang sebagian besar adalah mahasiswa, dosen, peneliti dan guru besar
itu. Di sekitar
kota Oxford ada pula tiga masjid tempat ibadah kaum muslimin yang relatif besar
pula. Sebentar lagi masjid itu pun akan bertambah pada satu komplek mega
proyek,
Sekarang tengah dibangun
komplek kampus baru di jantung
Oxford. Arsitekturnya disesuaikan dengan bangunan klasik Islam dan Barat. Di
kampus itu di samping masjid ada ruang kuliah, aula utama, perpustakaan manual
dan digital, kantin, pusat riset bahkan sekaligus aparttement untuk para
pekerja akademik , ilmuwan, fellow atau scholar.
Bangunan yang sudah rampung 75 % itu, menurut Farhan akan selesai
dan diresmikan tahun 2005 ini. Dengan begitu gedung yang ada sekarang berlantai lima dengan staf
sekitar 40 orang akan menjadi bagian dari kampus baru seluas tiga hektar itu nanti. Boleh
jadi, akan tercapai cita-cita menjadikan
OCIS sebagai tempat bertemunya dua titik : Barat dan Islam, akan semakin dekat.
***
Teks Foto 1:
Farhan Ahmad
Nizami, Direktur OCIS dan Shofwan
Karim . (Foto: Hassan Abedin)
Teks Foto 2:
Salah satu
gedung klasik ruangan kuliah Oxord University. Jalan di antara gedung itu hanya untuk pejalan kaki dan sepeda (Foto:
SK)
Comments