Muslimah Bebas Berjilbab Selebritis

Surat Shofwan Karim dari London (9) :

 Muslimah Bebas Berjilbab Selebritis

Sahabatku Bagindo Darlis, Cucu Magek Dirih, Hasril dan Eko.Terhadap fenomena semakin banyaknya jumlah pemeluk Islam dan warga Muslim di Inggris, dapat dibenarkan melalui pengamatan. Meskipun saya belum mendapatkan angka statistik. Angka itu tidak akan ada, karena soal agama tidak temasuk pertanyaan cacah jiwa di sini. Jadi kalaupun ada angka, itu pasti estimasi semata. Saya mengamati pada setiap kali naik kereta bawah tanah atau underground yang di sini juga disebut tube. Ada saja perempuan muslimah yang berjilbab. Begitu pula ketika naik bus kota pemandangan yang sama soal wanita berjilbab itu.
 Satu atau dua kali kali saya sengaja berdiri di pinggir jalan Oxford Syrcus.  Inilah jalan paling macet oleh bus kota. Karena dari sini dengan jalan penyanggah di kiri dan kanannya menjadi  tempat bus kota berputar kembali ke rutenya. Kira-kira seperti situasi Jalan Mohammad Yamin arah ke Masjid Taqwa Muhammadiyah dan belok ke Bundo Kanduang atau masuk ke Pasar Raya Padang. Di situ  tumpahnya segala mall dan supermarket, pusat belanja dari yang rendah ke yang tinggi. Dan di jalan ini pula adanya petak-petak kaki lima teratur rapi.  Dengan begitu pantaslah kawasan ini paling padat dan tempat berjejal orang hilir mudik. Pagi, siang, sore dan malam hari.
Saya mencoba mengamati dan menghitung . Ternyata hampir setiap tiga menit,  paling kurang ada satu atau dua wanita berjilbab yang lewat. Umumnya mereka berdua atau dengan beberapa orang yang kelihatannhya seperti satu keluarga. Warna kulit mereka tidak semata-mata yang beraneka warna, tetapi banyak pula yang bekulit putih. Yang terakhir ini mungkin yang dimaksud Murad, atau Pribadi sebagai muslimah asli Inggris.  Tentu saja perbandingan itu kalah banyak dengan mereka yang tidak memakai jilbab dan perempuan yang membuka tubuhnya. Lebih-lebih  lagi sekarang sedang musim panas atau summer. Sehingga bagi kebanyakan orang di sini, memakai pakaian  yang paling minim menjadi umum.
Tentu terasa aneh, bagi kita orang asing. Misalnya menyeberang  taman Green Park setelah keluar dari  stasiun kereta bawah tanah arah ke Buckingham Palace atau Istana Buckingham. Di situ sejak siang sampai sore orang berjemur dengan buka-bukaan. Sementara wanita-wanita Muslimah banyak  lewat dengan teman atau keluarganya. Mereka  sepertinya  tak mempedulikan polah tingkah orang-orang yang menjemur diri di rerumputan atau bebaringan di bagian lain di bawah pokok pohon kayu besar yang sudah ratusan tahun di bagian lain taman. Tidak ada apa-apanya. Mereka tak peduli.
Sama halnya mereka yang buka-bukan itu tidak peduli pula kalau orang di sekitarnya memakai pakaian panjang dan berjilbab.  Ini mungkin hak privasi masing-masing. Jilbab yang saya maksud di sini sepertinya adalah jilbab mayoritas gadis-gadis muda dan mahasiswi  di Indonesia. Bukan jilbab yang lebar dan besar-besar. Yang tersebut terakhir ini ada juga. Tetapi jarang sekali. Bahkan ada pula yang memakai cadar, tetapi tidak  banyak. Jadi jilbab mode selebritis. Dengan celana jin, bahkan ada yang ketat atau rok panjang, tetapi rambutnya tertutup dengan berbagai gaya dan seni.  Gaya pakaian begini saya lihat juga di Mesir pekan lalu.
            Pada bagian kota London, saya juga melihat toko kebutuhan konsumsi pokok bertulis halal. Tetapi tidak ada yang menulis kalimat restoran atau rumah makan Islam, muslim atau semacam itu. Padahal di negara lain hal itu umum saya lihat. Misalnya di kota Beijing, China. Pada  bulan September 1995 sepekan di negeri itu saya menyaksikan dan bersantap bersama rombongan di rumah makan yang berlabel Muslim Restaurant. Label itu umum sekali  di beberapa jalan kota ini dan pada beberapa tempat istirahat arah ke Tembok Besar  (Great Wall) , 75 kilometer ke luar kota Beijing.
            Kembali ke Murad. Lelaki 40-an tahun ini mengaku ingin cepat kembali ke negerinya atau ke negeri lain yang menurut perasaan dan versinya  benar-benar muslim. Mengapa?. Tanya saya. Wah, di sini tidak baik untuk perkembangan anak-anak, katanya. Lingkungan di sini terlalu materialistik, hedonistik dan cepat merusak jiwa  keturunan saya nantinya, katanya. Ia mengaku memiliki  sepasang putra putri yang masih kanak-kanak. Ia ingin keturunannya terpelihara secara Islami murn. Tetapi murad sendiri tidak menolak hal-hal yang amat positif di sini yang mungkin tidak dia peroleh di negeri lainnya kalau nanti meninggalkan negeri ini.
Di sini, masih kata Murad, kriminal sedikit sekali. Kejahatan-kejahatan berat, jarang sekali terjadi. Semua hal diatur dengan peraturan dan hukum. Dan itu terasa bukan suatu pemaksaan. Sudah merupakan hal yang alami. Pada hal-hal tertentu warga Inggris sangat menghormati hak-hak asasi dan hal sipil lainnya. Karena itu di Inggris tidak ada larangan seperti di Perancis untuk memakai pakaian yang sesuai dengan kewajiban agama. Di sini tidak ada larangan memakai jilbab bagi muslimah di sekolah. Sama halnya tidak ada larangan memakai tutup kepala bagi kaum Yahudi dan  lambang salib bagi Nashrani. 
Pada sisi lain, untuk menjadi penduduk tetap di Inggris atau permanent residence, relatif mudah. Bila anda tinggal terus menerus di sini selama 4 tahun, kata Gede dari KBRI, sudah bisa memiliki status itu. Tetapi kalau keluar lagi jangan sampai lebih dari dua tahun. Kalau lebih dari itu , status permanent residence anda batal. Harus mulai dari awal lagi. Dengan status penduduk tetap itu, jaminan bekerja dan lain-lain sudah dimiliki. Ini juga menjadi daya tarik imigran datang ke sini. Boleh jadi ini faktor pendorong utama pula bertambahnya warga beragama Islam di negeri Ratu Elyzabeth ini.  ***


Comments

Popular posts from this blog

Islam di Minangkabau

Otonomi dan Perjuangan Pribumi Indian di Amerika

Sufyarma Sahabat Abadi: Ligat, Liek, Tegas dan Santun