Otonomi dan Perjuangan Pribumi Indian di Amerika

 Harian Independen SINGGALANG (10):

Otonomi dan Perjuangan Pribumi Indian

Oleh Shofwan Karim, Ketua PWM Sumbar,

International Visitor Leadership Program, 2005



 Kanan ke kiri, Olga (Balaruz, Eropa Timur), Cathy (South Africa) Sabagala (Uganda),  Shofwan (Indonesia), Gillbert Sanchechez, Indian Amerika, Theo (Kamerun), Denis (Kamerun), Khalid (Palestine). Franklin Quijano, (Filipina) tak kelihatan. (Photo: Franklin Quijano).

            Kemarin, Kamis (19/5/2005) kami berkunjung ke Komunitas Indigenous (Pribumi) Indian Amerika di Pueblo.  Komunitas berjarak 30 menit bermobil dari Santa Fe, ibukota New Mexico itu di hampari dataran tinggi gersang dengan flora seperti cemara yang tumbuh tidak merata. 

Komunitas berpenduduk pada  awal abad ini (1904) hanya 92 orang itu kini sudah seribu orang. Pueblo  mendapat otonomi khusus dari negara. Pemimpin tertinggi, secara bersama mereka pilih langsung dan menamakannya Gubernur.  Bersamaan dengan itu, mereka tetap ikut memilih pada Pemilu federal dan lokal Amerika.    

Gilbert Sanchecz (lk 60 tahun) memaparkan banyak hal. Mereka punya aturan dan hukum sendiri. Hanya bila ada pihak lain yang melewati tanah mereka sekitar dua juta hektar persegi di sekitar kampungngya itu, maka akan ada kesulitan. 

Pemimpin dan aktivis komunitas Pueblo, pendiri dan penggerak Tribal Environment Wacth Alliance itu menganggap  posisi Pribumi Indian di sini, masih belum sesuai dengan keinginan mereka. Sepertinya dia menaruh cita dan harapan  kelasik sejak 200 tahun lalu.

Di dalam memori sepanjang hayat,  masih tersimpan rapi, bagaimana  orang-orang kulit putih Eropa merebut tanah mereka. Bahkan karena kepercayaan dan agama sendiri tidak mengakui bahwa  suku mereka bukanlah satu keturunan dengan manusia lainnya. Manusia Pueblo lahir dari proses mistis dari lokasi perut bumi tanahnya sendiri.

Ketidak puasan merembet ke keadaan lingkungan komunitasnya. Karena itu ketika di sekitar itu akan dibangun proyek penelitian nuklir, dia menggagas aliansi tadi. Sampai sekarang dia berjuang ke pemerintah lokal dan pusat supaya efek nuklir, radiasi dan pencemaran oxigin dihentikan. Ini semua karena oxigin tidak bisa diganti, katanya. Semua itu merusak tanah, manusia, flora, fauna di atas dan di dalam perut bumi komunitasnya.

Begitu kokohnya komunitas ini mempertahankan tradisinya, maka untuk masuk ke kampung itu harus dengan izin khusus. Walaupun kami sudah bertemu dengan Gillbert di sebuah rumah sekaligus kantornya agak di pinggiran kampung. Untuk masuk pusat kampung, pun kami hanya bisa lewat dan tidak turun serta tidak boleh memotret.


 Denis, Gillbert dan Shofwan (Photo: Franklin).


Karena adanya otonomi penuh, mereka tidak dijangkau hukum federal dan negara bagian. Maka mereka bahkan mendirikan kasino, tempat judi di beberapa tempat. Padahal untuk kelompok lain tidak boleh. Menutut kepercayaannya judi bukan haram. Mereka memiliki 6 kepercayaan yang berbeda-beda yang mereka sebut agama indigenous. Pada dasarnya keenamnya merupakan agama animisme dan dinamisme. Ketika akan memulai paparan tadi, dia membacakan mantra-mantra yang kami tidak mengerti. Menurutnya  itu semacam permohonan kepada arwah leluhurnya supaya acara diskusi kami ini mendapat restu mereka.

Pada ujung sesi saya bertanya kepada Gillbert, tentang kepemimpinan spiritual mereka dalam menggerakkan komuniti dan bagaimana pemahamannya ke depan bahwa semua mereka sekarang adalah orang yang menjadi satu Amerika. Intinya, pemimpin di mana-mana sama katanya. Ada yang baik dan ada pula yang korup . Sedangkan yang kedua, dia tetap mengatakan bahwa secara lahiriah bisa saja mereka satu Amerika, tetapi batiniah, akan memerlukan proses yang lama. shofwan.karim@hotmail.com ***


 

 

 

 

 


 

Comments

Popular posts from this blog

Islam di Minangkabau