Muslimah Bebas Berjilbab Selebritis
Muslimah Bebas Berjilbab Selebritis
Sahabatku
Bagindo Darlis, Cucu Magek Dirih, Hasril dan Eko.Terhadap fenomena semakin
banyaknya jumlah pemeluk Islam dan warga Muslim di Inggris, dapat dibenarkan
melalui pengamatan. Meskipun saya belum mendapatkan angka statistik. Angka itu
tidak akan ada, karena soal agama tidak temasuk pertanyaan cacah jiwa di sini.
Jadi kalaupun ada angka, itu pasti estimasi semata. Saya mengamati pada setiap
kali naik kereta bawah tanah atau underground yang di sini juga disebut tube.
Ada saja perempuan muslimah yang berjilbab. Begitu pula ketika naik bus kota
pemandangan yang sama soal wanita berjilbab itu.
Satu atau dua kali kali saya sengaja berdiri
di pinggir jalan Oxford Syrcus. Inilah
jalan paling macet oleh bus kota. Karena dari sini dengan jalan penyanggah di
kiri dan kanannya menjadi tempat bus
kota berputar kembali ke rutenya. Kira-kira seperti situasi Jalan Mohammad
Yamin arah ke Masjid Taqwa Muhammadiyah dan belok ke Bundo Kanduang atau masuk
ke Pasar Raya Padang. Di situ tumpahnya
segala mall dan supermarket, pusat belanja dari yang rendah ke yang tinggi. Dan di jalan ini pula adanya petak-petak
kaki lima teratur rapi. Dengan begitu
pantaslah kawasan ini paling padat dan tempat berjejal orang hilir mudik. Pagi,
siang, sore dan malam hari.
Saya mencoba mengamati dan menghitung . Ternyata
hampir setiap tiga menit, paling kurang
ada satu atau dua wanita berjilbab yang lewat. Umumnya mereka berdua atau
dengan beberapa orang yang kelihatannhya seperti satu keluarga. Warna kulit mereka
tidak semata-mata yang beraneka warna, tetapi banyak pula yang bekulit putih.
Yang terakhir ini mungkin yang dimaksud Murad, atau Pribadi sebagai muslimah
asli Inggris.
Tentu saja perbandingan itu kalah banyak dengan mereka yang tidak memakai jilbab dan perempuan yang membuka tubuhnya. Lebih-lebih lagi sekarang sedang musim panas atau summer. Sehingga bagi kebanyakan orang di sini, memakai pakaian yang paling minim menjadi umum.
Tentu saja perbandingan itu kalah banyak dengan mereka yang tidak memakai jilbab dan perempuan yang membuka tubuhnya. Lebih-lebih lagi sekarang sedang musim panas atau summer. Sehingga bagi kebanyakan orang di sini, memakai pakaian yang paling minim menjadi umum.
Tentu terasa
aneh, bagi kita orang asing. Misalnya menyeberang taman Green Park setelah keluar dari stasiun kereta bawah tanah arah ke Buckingham
Palace atau Istana Buckingham. Di situ sejak siang sampai sore orang berjemur
dengan buka-bukaan. Sementara wanita-wanita Muslimah banyak lewat dengan teman atau keluarganya. Mereka sepertinya
tak mempedulikan polah tingkah orang-orang yang menjemur diri di
rerumputan atau bebaringan di bagian lain di bawah pokok pohon kayu besar yang
sudah ratusan tahun di bagian lain taman. Tidak ada apa-apanya. Mereka tak
peduli.
Sama halnya mereka
yang buka-bukan itu tidak peduli pula kalau orang di sekitarnya memakai pakaian
panjang dan berjilbab. Ini mungkin hak
privasi masing-masing. Jilbab yang saya maksud di sini sepertinya adalah jilbab
mayoritas gadis-gadis muda dan mahasiswi
di Indonesia. Bukan jilbab yang lebar dan besar-besar. Yang tersebut
terakhir ini ada juga. Tetapi jarang sekali. Bahkan ada pula yang memakai
cadar, tetapi tidak banyak. Jadi jilbab
mode selebritis. Dengan celana jin, bahkan ada yang ketat atau rok panjang,
tetapi rambutnya tertutup dengan berbagai gaya dan seni. Gaya pakaian begini saya lihat juga di Mesir
pekan lalu.
Pada
bagian kota London, saya juga melihat toko kebutuhan konsumsi pokok bertulis
halal. Tetapi tidak ada yang menulis kalimat restoran atau rumah makan Islam,
muslim atau semacam itu. Padahal di negara lain hal itu umum saya lihat.
Misalnya di kota Beijing, China. Pada
bulan September 1995 sepekan di negeri itu saya menyaksikan dan
bersantap bersama rombongan di rumah makan yang berlabel Muslim Restaurant.
Label itu umum sekali di beberapa jalan
kota ini dan pada beberapa tempat istirahat arah ke Tembok Besar (Great Wall) , 75 kilometer ke luar kota
Beijing.
Kembali
ke Murad. Lelaki 40-an tahun ini mengaku ingin cepat kembali ke negerinya atau
ke negeri lain yang menurut perasaan dan versinya benar-benar muslim. Mengapa?. Tanya saya.
Wah, di sini tidak baik untuk perkembangan anak-anak, katanya. Lingkungan di
sini terlalu materialistik, hedonistik dan cepat merusak jiwa keturunan saya nantinya, katanya. Ia mengaku
memiliki sepasang putra putri yang masih
kanak-kanak. Ia ingin keturunannya terpelihara secara Islami murn. Tetapi murad
sendiri tidak menolak hal-hal yang amat positif di sini yang mungkin tidak dia
peroleh di negeri lainnya kalau nanti meninggalkan negeri ini.
Di sini, masih kata Murad, kriminal sedikit
sekali. Kejahatan-kejahatan berat, jarang sekali terjadi. Semua hal diatur
dengan peraturan dan hukum. Dan itu terasa bukan suatu pemaksaan. Sudah
merupakan hal yang alami. Pada hal-hal tertentu warga Inggris sangat
menghormati hak-hak asasi dan hal sipil lainnya. Karena itu di Inggris tidak ada larangan seperti
di Perancis untuk memakai pakaian yang sesuai dengan kewajiban agama. Di sini
tidak ada larangan memakai jilbab bagi muslimah di sekolah. Sama halnya tidak
ada larangan memakai tutup kepala bagi kaum Yahudi dan lambang salib bagi Nashrani.
Pada sisi lain, untuk menjadi penduduk tetap di
Inggris atau permanent residence, relatif mudah. Bila anda tinggal terus
menerus di sini selama 4 tahun, kata Gede dari KBRI, sudah bisa memiliki status
itu. Tetapi kalau keluar lagi jangan sampai lebih dari dua tahun. Kalau lebih
dari itu , status permanent residence anda batal. Harus mulai dari awal lagi.
Dengan status penduduk tetap itu, jaminan bekerja dan lain-lain sudah dimiliki.
Ini juga menjadi daya tarik imigran datang ke sini. Boleh jadi ini faktor
pendorong utama pula bertambahnya warga beragama Islam di negeri Ratu Elyzabeth
ini. ***
Comments