Muslim Cina Berbahasa Arab (China.4)
Muslim Cina Berbahasa
Arab (China.4)
Oleh Shofwan Karim
Nanjing (Singgalang, 23/10/2008).
Kemarin, di Mausoleum DR. Sun
Yat-sen, di sudut lain Nanjing, setelah mendaki jalan besar yang disetiap level
ada gedung dan gerbang pada tingkatan lapangan ketiga, penulis dan isteri
bertemu Muslim Cina. Seorang ayah membawa dua orang anaknya. Kami mengenal Shafia yang memakai jilbab. Tak tahan untuk menyapa mula-mula kami
berbahasa Inggris. Tetapi Ahmad, putra sang bapak yang sedang mengupas buah
apel, langsung menyambut dengan Bahasa Arab. Muhammad, sang Ayah, kemudian meminta
kami ikut makan apel yang dikupas anaknya. Semua dalam bahasa Arab.
Tentu saja ini suatu yang
menghibur dan bersyukur. Ingatan melayang ke nostalgia kuliah
di Jurusan Bahasa Arab IAIN di awal pernikahan kami dulu. Upaya
Berbahasa Arab ini di Universitas Muhammadiyah sekarang tengah diprogramkan
dengan kerjasama Asian Muslim Charity Foundation. UMSB, di samping memiliki 7
fakultas umum: ekonomi, hukum, pendidikan, teknik, pertanian, kehutanan dan
kesehatan, di Padang, Padang Panjang, Bukitting dan Payakumbuh, pada fakultas
ilmu agama Islam di Padang, kini sedang
bersemangat melaksanakan program Studi Islam
dan Bahasa Arab Mahad Zubair Ibn Awwam di tempat terpisah: mahasiswa di Kampus
Pasir Kandang dan mahasiswi di Kampus
Ulak Karang, Padang.
Soal bahasa memang banyak kendala
bagi orang asing di China. Hanya satu-dua orang saja pelayan dan petugas publik yang pandai berbahasa Inggris. Sejak
dari Bandara Nanking berjarak 60 km dari kota Nanjing, sopir taksi membisu
seribu bahasa. Payahnya lagi, mereka juga tidak pandai membaca aksara latin. Mereka
hanya paham aksara kanji. Celakanya nasib yang sama ditemui
di hotel. Hanya satu-dua petugas resepsionis dan pelayan resto dan
bell-boy hotel yang pandai berkomunikasi dalam internasional ini. Karena
itu bahasa isyarat (tarzan) sering dipakai oleh pengunjung Nanjing.
Ini mungkin suatu isyarat bahwa di China,
sebagaimana juga di Jepang, Korea dan Perancis, bahasa Inggris tidak terlalu
disukai. Bedanya kalau di Perancis, mereka hanya memang tidak suka tetapi
mengerti bahasa Inggris. Sementara di Nanjing memang mereka tidak suka dan
tidak mengerti sama sekali. Atau mereka sebenarnya tidak memerlukan turis
berbahasa Inggeris karena turis domistik dan China perantauan yang jumlahnya
mungkin hampir sepertiga penduduk bumi dapat mereka layani dengan bahasa
Mandarin internasional itu.
Kembali ke Muslim China tadi, maka
ingatan penulis melesat ke hampir seribu tahun lalu ketika Islam mulai merambah
keluar jazirah Arabia. Apa lagi di kalangan kaum muslimin popular hadis yang
sering dikutip : “tuntutlah ilmu hingga sampai ke negeri China”. Sesaat ingatan
ini singgah ke sebuah pusara di sekitar Masjid Niujie ibu kota China Beijing.
Di situ, tahun 1995, berkisahlah Imam Masjid Niuije, selesai kami shalat zuhur. Imam tadi membentangkan kisah Masjid ini dan pernik sejarah Islam.
Imam tadi menunjukkan kepada kami (di antarnya Buya Bagindo Letter dan Uda
Yonda Djabar) bahwa satu pusara di taman Masjid itu adalah pusara sahabat Rasulullah bernama Sa’ad Ibn Waqas.
Sahabat Nabi ini dianggap utusan
resmi ke China pada tahun 650 M. Inilah
tahun mula sejarah masuknya Islam ke China. Dinasti Tang dengan Maharaja
Gaozong yang memerintah kala itu menerima utusan resmi ini. Karena dianggap
suatu agama yang sejajar dengan Konfusius, maka didirikanlah Masjid sebagai
penghormatan. Mungkin masjid Niujie Bejing tadi salah satu hadiah maharaja di
masa lalu. Sayangnya untuk kunjungan kali ini ke China, di wilayah selatan-timur
2 jam terbang dari Beijing, kami tidak
sempat berkunjung ke salah satu Masjid yang terletak di Jalan Shengzhou yang
berhadapan dengan resto cepat saji KFC di sudut lain Nanjing.
Sampai hari ini, jumlah kaum
muslimin di China diperkirakan ada 100-120 juta atau mendekati 9-10 persen dari 1.3 milyar lebih orang penduduk Republik Rakyat China hari
ini. Beberapa suku bangsa Muslim di China yang popular adalah Suku Tang, Song, Ming, Yuan, Qing. Menurut
sumber lain (http://njowo.multiply.com/journal),
Republik Rakyat China memiliki 56 suku, dengan suku bangsa Han yang mayoritas. Hanya bangsa Han kebanyakan tidak beragama dan
sebagian kecilnya menganut Budha, Tao dan belakangan ini ada yang Nashrani.
Sedangkan suku yang memeluk agama Islam mayoritas tinggal diwilayah bagian Barat Laut, Timur
Laut dan bagian Utara Tiongkok, seperti provinsi Gansu, Qinghai, Daerah Otonomi
Ningxia dan Daerah Otonomi Xinjiang (4 daerah mayoritas), Propinsi Shaanxi,
Yunan, bagian barat daerah otonomi Mongolia, begitu pula di Taiwan dan Ibukota
Beijing. Secara kasar oleh orang asing yang tidak belajar kebudayaan Tiongkok
menggangap bangsa Tionghoa dalah orang Han saja, tapi suku minoritas lainnya
adalah juga bangsa Tionghoa. Artinya
kaum muslimin dari berbagai suku tadi
juga adalah bangsa Tionghoa***
Comments