Yang Resah dan yang Tak Peduli (dari China.2)
Yang Resah dan yang Tak Peduli (dari
China.2)
Oleh Shofwan Karim
Nanjing, November 2008. Di tengah
badai krisis finansial global saat ini, tulisan di media penuh dengan kabar tak
nyaman. Negeri kawasan Timur dan Selatan
China, termasuk Jiangshu dan Hongkong sedang goyang. Sejak sekarang sampai tiga
bulan ke depan, diperkirakan 2,5 juta orang berhenti bekerja di pusat-pusat wilayah industri yang dulu amat dipuji pendiri Republik China
DR. Sun Yat-sen (1911-1949) sebagai wilayah pegunungan yang indah, tanah yang
subur dan sungai mengalirkan air dalam dan jernih . Di kawasan geografis dan zona ekonomoni
Yangtze River Delta ini beberapa pabrik industri menghadapi gejolak hebat. Ini
dampak krisis golobal yang menimpa hampir semua Negara di Barat dan di Timur
dewasa ini. Keadaan itu membuat generasi muda tak nyaman. Beberapa calon
sarjana yang bakal tamat diterpaksa
mengulum perasaan gundah gulana . Mereka
berhati rusuh karena lapangan kerja bukan saja semakin sulit, bahkan
saudara mereka yang sudah bekerja pun banyak yang akan dan sudah menganggur.
Di ibukota provinsi Jiangshu yang
dicapai setelah 2 jam terbang arah ke utara dari Hongkong ini, siang kemarin, sehari penuh penulis dan
isteri berkeliling kampus Universitas Nanjing. Beberapa mahasiswa asyik membaca,
berdiskusi dan ada yang mengernyitkan dahi. Khusus bagi yang ketiga tadi adalah
mereka yang bakal rampung studi di
semester ini. Mereka sedang berfikir keras untuk masa depan karena lapangan
kerja yang bakal sulit. Di kampus yang menampung sekitar 30 ribu mahasiswa-mahasiswi
dari berbagai wilayah China ini, masih banyak yang punya optimisme. Maka ketika
soal krisis ini saya tanyakan kepada mereka, masih ada yang mampu terrsenyum
karena mereka masih tahun pertama dan kedua. Dapat ditebak mereka merasa
bahwa masa depan masih jauh dan mungkin tidak kelabu. Bagaimana pun seakan ada
yang berkata bahwa suatu waktu, badai
pasti akan berlalu. Mudah-mudahan saja keadaan buruk ini tidak akan begitu
lama.
Bagi mereka yang tak peduli
dengan krisis ini, konsentrasi belajar tidaklah buyar. Di bawah rindangnya
hutan kampus, duduk di bangku kayu panjang tertata rapi, mereka membuka buku
sambil mengklik computer browsing
internet. Kampus yang penulis jelajahi hampir 3 jam dengan jalan kaki itu,
amatlah sejuk dan teduh. Kampus ini seperti sebuah kota kecil penuh taman dan
beberapa lapangan terbuka. Dari pintu masuk Timur setelah keluar dari metro
kereta bawah tanah stasiun Gulou arah ke Barat ke gerbang utama kampus, tampak para
mahasiswa dan dosen jalan kaki dan bersepeda. Tak lebih dari bilangan lima jari
sebelah tangan jumlah mobil yang parkir
terpencar di kampus ini. Tidak sekalipun tampak lewat sepeda motor. Kampus yang
kelihatan dipenuhi oleh orang yang berjalan dari satu gedung ke gedung lainnya
terkesan sunyi dari suara kenderaan dan asap mesin motor. Di kampus yang ditata
sedemikian rupa ini tidak tampak
bangunan gedung baru. Walau tidak
setua usia kota Nanjing yang dibangun mulai tahun 495 Sebelum Masehi ini,
gedung-gedung itu kelihatannya sudah lama sekali. Gedung-gedung diselimuti berbagai jenis tumbuhan yang melekat di dinding
yang menambah hijaunya hutan rawatan antara satu gedung dengan gedung lain
disela-sela taman dan lapangan lainnya.
Kampus yang terletak hampir di tengah-tengah kota Nanjing yang berpenduduk 7,5 juta orang ini, memisahkan agak jauh
gedung akademik, pusat riset, perkantoran dan ruang kuliah dengan apartemen
asrama dan pusat kegiatan mahasiswa atau Student Centre.
Penulis agak lama berputar-putar
di kawasan asrama mahasiswa ini. Di situ ada sekitar 20 gedung bangunan apartemen
mahasiswa, pusat kegiatan dan kantin atau ruangan makan minum, serta pusat
kesehatan mahasiswa. Asrama mahasiswa dan mahasiswi terpisah berseberangan.
Kelihatan pertanda bedanya asrama mahasiswa dan mahasiswi dari jenis jemuran di
depan kabin masing-masing pada gedung-gedung antara 5 sampai sepuluh tingkat
itu. Di kantin berlantai 5, dalam aula
maha luas itulah sekitar 10 ribu mahaiswa atau sepertiga dari jumlah total para penuntut ilmu itu yang tinggal di asrama
kampus ini memenuhi hajat perut mereka. Tentu saja mimpi penulis sejak 2 tahun
lalu menggarap program Kementerian Perumahan RI untuk rumah susun
sewa mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sumbar makin menggebu. Meskipun mimpi
itu masih tetap mimpi. Mimpi di tengah
krisis global di antara mereka yang resah dan yang tidak peduli. Kedua protipe
orang ini tenttulah ada di mana-mana,
tentu termasuk di negeri kita. ***(Shofwan Karim)
Comments