Tokyo, Japan, 23/3/2015: Cara Remaja Jepang Mandiri (3-habis)


Untuk : http://www.klikpositif.com/kanal/kolom-shofwan-karim.html

Seperti Diceritakan Imnati dan Bulqish:

Cara Remaja Jepang Mandiri (3-habis)


Oleh Shofwan Karim



Teks Foto: Seorang mahasiswa yang nyambi kerja sambil kuliah menjadi nakhoda penarik  “becak” kami di Jalan Bambu (the Path of Bamboo) , Arashiyama, Kyoto. (Foto: Dok)

Kami berjalan kaki antara 50 sampai dengan 100 meter. Setelah itu bertemu dengan stasiun kereta.  Pergi subuh pulang lewat senja.  Bagai orang Jepang saja. Di Kereta suasana tenang. Tidak berisik dengan orang yang telepon ke sana dan ke sini. Tentu saja “head sett” yang bergayut di leher dan mencucuk ke dua daun telinga banyak juga terlihat terutama pada mereka yang muda usia.

Pagi hari atau senja kereta penuh sesak. Anak-anak muda kelihatan memberikan kursinya kepada senior. Lalu ia bergelantungan pada pegangan tangan di setiap kompartemen.  Kami sengaja naik kereta ke mana-mana. Dan dalam satu hari sudah pulang lagi ke Tokyo. Pokoknya tidak perlu tinggal  bermalam di kota lain.

Dengan begitu biaya irit. Kecuali beberapa waktu lalu kami menghadiri wisuda Doktor Femi Erneasty di Universitas Gifu, di kota Gifu, 3,5 jam dari Tokyo dengan 1 kali sambungan. Kami bermalam di pondokan seorang mahasiswi Malaysia teman Femi. Femi harus pindah dari asrama, karena beberapa jam sesudah wisuda tak boleh tinggal di asrama lagi.

Kembali ke Tokyo, budaya keluarga tempat kami tinggal juga seperti budaya  orang Jepang lainnya. Pergi subuh pulang lewat senja.  Kepada sang suami jarang sekali kami bertemu. Pulangnya lebih larut daripada sang ibu. 

Keluarga ini mempunyai 1 putra dan 1 puteri. Yang putra, sebut saja si Buyung (kami tak boleh menyebut nama karena perjanjian dengan tuan rumah). Hampir  tidak pernah bertemu kecuali akhir minggu.

Buyung baru tamat SMA. Tetapi dia belum mau kuliah di perguruan tinggi atau universitas. Alasannya sederhana. Dia mau cari uang dulu, punya mobil dan ada sedikit tabungan, baru nanti kuliah.

Sekarang dia tinggal agak jauh dari kediaman orang tuanya ini. Tetapi masih di dalam wilayah Megapolitan Tokyo. Dia bekerja apa saja. Mulai yang ringan seperti pramuniaga, pramusaji atau “cleaning servise” di resto, kedai, toko, mall dan swalayan.

Atau yang berat. Kelililing mengantarkan berbagai produk kepada pelanggan. Lebih dari itu, kadang juga kerja bangunan alias berkuli. Ini yang kebih berat. Tetapi dia sangat senang kerja yang sulit dan berat. Imbalannya jauh lebih besar dari pada kerja kerah putih dan ringan itu.

Remaja dan anak muda Jepang sangat keranjingan kerja sambilan. Banyak mahasiswa yang kerja menyisihkan waktu kuliahnya. Kami naik kereta 3 jam, untuk jarak Tokyo-Kyoto yang hampir sama dengan Jakarta-Surabaya. Salah satu tempat menarik di Kyoto adalah Arashiyama.  Daerah dengan pemandangan yang indah, terletak di kaki gunung. Di antara semua keindahan alami dari pinggiran kota, kami menjelajahi taman bambu yang indah, yang membuat sebuah tirai yang unik menarik.

Sehamparan taman bambu dengan kemiringan beraneka ukuran, bukit, dan lereng, dihubungkan oleh jalan-jalan sempit. Seperti tidak boleh direncah oleh kenderaan bermotor. Di situ banyak pedati tarik dan becak dorong untuk wisatawan. Yang menarik dan mendorongnya adalah anak-anak muda. Sebagian mereka ternyata mahasiswa yang nyambi.

Akhir minggu kemarin kami bertemu Si Buyung. Diam-diam dia sudah membawa mobil idamannya. Hasil kredit itu ditunjukannya kepada kedua orang tuanya dan kami.

Lain lagi dengan anak putri keluarga kami ini. Kita sebut saja Si Upik. Sekarang ia kuliah di salah universitas di Bandung. “Mengapa tidak di Jepang saja Si Upik  kuliah?” Kata kami kepada kedua orang tuanya.

“Kemauannya sendiri”, kata ayah dan ibu Si Upik. Ia ingin merasakan menjadi orang Indonesia. Tanah air orang tuanya. Si Buyung dan Si Upik, keduanya lahir dan besar sampai usia sekarang di Jepang.

Tiba-tiba saja si Upik muncul di balik pintu. “Loh, kok ndak bilang-bilang ?”. “Ya.lagi libur”, kata Si Upik. Lalu,  “di mana dapat uang?. Ada, deh !,” katanya.

Rupanya di Bandung, Si Upik sambil kuliah bekerja sebagai penerjemah lisan dan tulisan dari Bahasa Jepang ke Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris serta sebalikya. Maka dia tidak perlu menita uang kepada orang tuanya untuk tiba-tiba pulang ke Tokyo. Beli tiket on-line, lalu cabut.

Sepertinya remaja dan pemuda Jepang sangat bangga dengan hasil kucuran keringat dan tangannya yang berlumpur untuk mengejar masa depan.***



Imnati  di bawah Bunga Sakura, akhir Maret 2015. (Foto: Putri Bulqish Shofwan)

Comments

Popular posts from this blog

Islam di Minangkabau

Otonomi dan Perjuangan Pribumi Indian di Amerika

Sufyarma Sahabat Abadi: Ligat, Liek, Tegas dan Santun