Hambatan-Hambatan dalam Dialog Antar-Agama
Oct 5, '07 2:00 PM for everyone
Oleh Hassan Hanafi
ABSTRAK
Agama dinamis, lawan dari agama statis, adalah konsep keagamaan yang bersifat liberal, spiritual, modernis, moral, internal, individual dan manusiawi, dan hasil dari pengalaman religius mendalam yang datang dari kedalaman hati manusia. Kredo, ritual, hukum, kesucian, institusi, sejarah adalah konsep sekunder dalam agama dinamis yang tidak bisa mengantarkan orang pada dialog agama.
Sebaliknya, transendensi membebaskan pikiran manusia dari dogmatisme, fiksasi, pendewaan dan materialisme. Ia merupakan sebagai sebuah konsep metafisik, kode etik universal, norma perilaku, dan sebuah nilai untuk dikuasai. Ia sama dengan bukti rasional, dengan kecenderungan umat manusia untuk selalu mencari yang melampaui. Dalam yang universal, semua yang partikular bertemu.
Transendensi melindungi persamaan semua orang, budaya dan agama.+++KERJASAMA antarkeyakinan dimungkinkan melalui dialog antaragama sebagai disiplin yang ketat, jauh dari retorika kosong mengenai persaudaraan dan toleransi. Tujuan dialog bukanlah untuk mengubah keyakinan pihak lain, juga bukan untuk membuktikan bahwa agama seseorang salah. Ia bahkan bukan permasalahan preferensi atau pilihan bebas.
Setiap dialog harus didasarkan pada norma-norma dan nilai-nilai bersama. Satu pihak tidak dapat dijadikan acuan untuk pihak yang lain. Setiap agama memiliki esensi atau substansi yang terlepas dari aksiden sejarah. Sebuah gerakan pembaharuan pada dasarnya adalah sebuah gerakan kembali kepada esensi tersebut setelah ia dikacaukan dengan aksiden sejarahnya, termasuk hasrat manusia dan kepentingan sosial.
Setiap agama dimulai dengan pencerahannya sendiri, yang disebut pewahyuan, yang serupa dengan pemahaman manusia dan kesempurnaan alam, yaitu kesamaan antara wahyu, akal dan alam. Kesamaan ini dapat dianggap sebagai konsep yang esensial sementara komponen-komponen agama lainnya seperti dogma, ritual, institusi, hukum, sejarah dan simbol adalah konsep-konsep yang sekunder.
Setiap agama memiliki dua kecenderungan. Yang pertama bersifat tradisional, dogmatis, ritualistik, institusional dan legal, merupakan hasil sejarah, hasil interaksi sosial dan manusia. Bergson menyebutnya agama statis. Ia adalah versi yang dipelajari oleh para sosiolog agama, antropolog dan sejarawan, terutama apabila mereka mengadopsi pendekatan positivistik terhadap agama, agama sebagai fenomena sosial, seperti yang dilakukan oleh Durkheim.1 Ia adalah versi yang membuat para mistikus dan pemikir bebas memberontak kepada agama. Ia adalah versi para guru hukum Yahudi, pengurus gereja, sekte seperti kaum Parisi, yang dikritik Yesus dalam Khutbah di Bukit, yang dikritik Luther dalam gerakan pembaharuannya melawan Katolikisme Roma, yang dilampaui Budha ketika melawan Hinduisme, yang juga ditinggal oleh Konfusius di agama Cina kuno, yang ada dalam I Ching, yang ditolak oleh semua mistikus sebagai agama hukum, dan bukan agama kasih sayang, Halaka bukan Hagada, Syariat bukan Haqiqat.
Ia adalah versi yang membuat para pemikir bebas mencari agama alamiah seperti Lessing, Rousseau dan Tolstoy atau menjadi benar-benar atheis seperti Feuerbach. Versi ini melambangkan konsep-konsep agama yang sekunder.
Kecenderungan yang kedua bersifat liberal, spiritual, modernis, moral, internal, individual dan manusiawi, hasil dari pengalaman religius yang mendalam, yang datang dari kedalaman hati manusia. Bergson2 menyebutnya Agama Dinamis. Ia adalah versi yang dianalisis oleh psikolog agama, fenomenolog, mistikus dan penyair, seperti W. James3 dan Van Der Leuw.4 Ia adalah versi yang membuat orang-orang terkemuka dan para pemikir bebas dekat dengan agama, melindungi agama rasional seperti Kant, agama alamiah seperti Lessing. Ia adalah versi para nabi dan bukan versi para guru hukum Yahudi atau rabbi, versi para mistikus dan bukan versi para ahli hukum, Hagada melawan Halaka, Ta’wil melawan Tanzil, esoterisme versus eksoterisme, Konfusius melawan agama Cina kuno, Budha melawan Hinduisme, Socrates melawan politeisme Yunani, Yesus melawan para pedagang di kuil, Muhammad melawan pemberhalaan.
Ia adalah versi dari setiap gerakan pembaharuan, Luther melawan Katolikisme Roma, Spinoza dan Yahudi reformis serta liberal melawan Sinagog. Ia adalah agama para nabi, Ibrahim melawan kaum Sabean yang menyembah bintang, Musa melawan Fir’aun, Kaum Essenian melawan kaum Parisi. Versi ini melambangkan konsep agama yang esensial. Kredo adalah konsep sekunder dalam agama. Kredo pada awalnya adalah sebuah pandangan dunia, sebuah gagasan atau motivasi untuk bertindak. Kemudian ia diubah menjadi sebuah benda. Yesus tidak hanya merupakan kesatuan antara yang ideal dan yang real, antara ruh dan alam. Tetapi ia adalah sebuah kejadian sejarah, sebuah perwujudan harfiah dalam daging sama dengan konsep kenyataan dalam positivisme.
Sementara dalam fenomenologi, fakta diletakkan dalam tanda kurung, hanya esensi yang dapat dirasa secara intuitif dan makna yang dapat dipahami secara rasional. Kredo kadang dianggap melampaui akal manusia sebagai sebuah misteri, sebuah urusan keyakinan dan bukan pemahaman. Doktrin dosa asal, penyelamatan, otoritas gereja, kesempurnaan paus dalam Kristianitas, perjanjian dan pemilihan dalam Yudaisme, politeisme dalam Hinduisme atau agama Cina kuno, mendorong akal manusia untuk memberontak atas nama pemahaman manusia. Sebuah dogma bukan merupakan kebenaran per se, sebuah teori yang memiliki kriteria validitas di dalam dirinya sendiri, tetapi sebuah alat sederhana untuk bertindak, sebuah motivasi untuk perilaku manusia. Dengan demikian, kepercayaan adalah konsep sekunder apabila ia dipahami sebagai sebuah benda, sebagai sebuah misteri, atau sebuah teori per se, dialog antar-agama yang didasarkan atas sistem-kepercayaan yang seperti itu tidak mungkin bisa terjadi karena tidak ada ruang untuk pemahaman bersama.
Ritual juga merupakan konsep sekunder. Ritual adalah gerakan sederhana, eksternal dan simbolik untuk sesuatu yang lain. Ia tidak mengekspresikan esensi agama. Ia dapat dilakukan dengan bentuk murni tanpa isi. Ia bahkan dapat dilakukan untuk menutupi motivasi-motivasi tersembunyi lainnya seperti dalam kasus kemunafikan. Ritual bersifat eksternal, kesalehan bersifat internal. Semua gerakan pembaharuan bersifat anti-ritualistik dan pro-kesalehan. Konfusius menolak aspek ritualistik dalam agama Cina kuno, membuat agama bersifat etis, dan menentukan hubungan sosial antara individu dan pihak-pihak lain. Socrates mengeritik konsep Tuhan yang tak bermoral, yang bersaing dan curang, dan mendukung standar moral untuk kehidupan agama.
Budha juga mengubah agama sebagai gerakan tubuh menjadi agama sebagai pencerahan internal. Yesus menolak ritual-ritual eksternal seperti Sabath. Kehadiran Tuhan dalam hati manusia tidak memerlukan penampakan eksternal. Luther menolak sakramen-sakramen Katolik Roma. Orang yang beriman bisa hidup pada saat tindakan kepercayaannya berada dalam hubungan langsung dengan Tuhan tanpa perantara pengakuan iman. Tolstoy memahami kerajaan surga berada dalam diri kita dan bukan di luar diri kita. Ritual adalah sebuah konsep sekunder. Ia tidak dapat dijadikan norma dalam dialog antar-agama. Karena setiap agama memiliki sebuah sistem kepercayaan, keyakinan dan hukum, dan karena keyakinan adalah motivasi sederhana untuk tindakan yang baik, bukan sebuah nilai per se, sebuah benda atau teori, maka hukum juga merupakan aspek sekunder dalam agama. Hukum agama bukan merupakan hukuman dan bukan pula resep, yang dipaksakan oleh Kehendak Tuhan kepada manusia. Ia adalah hukum moral sederhana yang mengekspresikan sifat-dasar manusia yang tertuju kepada kesempurnaannya.
Hukum pidana yang keras atau lembut tidak dapat dipahami karena tujuan agama bukan untuk menghukum. Hukum agama adalah hukum alam, yang didasarkan pada penegasan nilai-nilai manusia yang universal seperti kehidupan, akal, kebenaran dan kehormatan. Hukum mengikat, sementara alam membebaskan. Dalam setiap agama terdapat perselisihan eksternal antara makna literal dengan makna spiritual kitab suci. Makna literal biasanya adalah makna hukum. Dalam Kristianitas pertentangannya adalah antara hukum dan kasih sayang, dalam Yudaisme antara Halaka dengan Hagada, dalam Islam antara para ahli hukum dengan para mistikus, antara Tanzil dengan Ta’wil.
Kant membuat hukum agama dan kanon yang eksternal menjadi hukum moral. Begitu pula Fichte dalam karyanya, Axiomatics of All Revelations. Spinoza memahami hukum Yahudi yang menjangkarkan diri pada hati manusia sebagai hukum alam, bukan hukum Sanhedrin. Agama sebagai hukum adalah konsep sekunder sementara agama sebagai kandungan sosial lebih berhubungan dengan konsep esensial yang mengizinkan dialog terbuka.Setiap agama didasarkan pada konsep suci: kitab suci, gereja suci, bapa suci, tanah suci, kota suci, sejarah suci, tempat suci, dan lain-lain, seakan-akan yang suci itu adalah sesuatu yang berada dalam ruang terpisah dari yang profan. Hal-hal itu hanyalah simbol, indikator, tanda eskatologis dari sesuatu yang lain, makna.
Nabi sebagai manusia tidaklah suci. Ia merupakan alat sederhana untuk menyampaikan perkataan Tuhan. A fortiori Paus atau pendeta sama seperti umat manusia lainnya tidaklah suci. Kitab Suci adalah kumpulan sederhana dari kertas-kertas yang ditulis dengan tinta, yang dijilid bersama. Kesucian tidak datang dari kertas tetapi dari diri, yang memproyeksikan pujiannya sendiri pada hal yang dipuji, seseorang, sesuatu, sebuah tempat atau sebuah institusi. Gereja itu tidak suci. Hanya kenangan terhadap peristiwa-peristiwa tertentu yang terjadi di tanah yang membuatnya suci. Kota itu tidak suci kecuali dengan nostalgia kepada masa lalu. Sejarah itu tidak suci. Ia hanyalah lapangan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Kaum beriman memproyeksikan harapan-harapan dan keinginannya untuk penyelamatan di masa depan dalam hal-hal tersebut.
Sementara hidup itu suci, tidak ada yang bisa memusnahkannya. Alam itu suci. Tidak ada yang bisa menghancurkan atau menghabiskannya. Suci adalah sebuah konsep sekunder dalam setiap agama, dan tidak dapat menjadi sebuah dasar dari dialog antar-agama. Institusi juga tergolong ke dalam konsep agama yang sekunder. Ia merupakan konstruksi buatan-manusia dalam konteks sosial-historis yang khusus. Ia tidak memiliki hubungan apa-apa dengan esensi agama. Sebaliknya, ia mengkhianati esensi itu setiap saat. Lagipula, sebuah institusi adalah buatan-manusia.
Tuhan tidak datang sendiri untuk membangun gereja, sinagog atau kuil. Gereja adalah kuil Roma yang memiliki sebuah fungsi baru. Sinagog adalah tempat Yahudi untuk perayaan dalam masyarakat. Masjid adalah bentuk baru dari tempat perkumpulan Arab pra-Islam. Kuil Hindu adalah tempat bagi kaum miskin untuk bertemu, sebuah acara pesta dan cerita rakyat. Institusi memiliki fungsi kekuasaan untuk mengatur komunitas kaum beriman, untuk memiliki kendali atas kehidupan orang-orang. Itulah kenapa ia ditantang oleh institusi politik, menciptakan perjuangan kekuasaan antara gereja dan negara. Semua gerakan pembaharuan menentang institusi agama. Ideal mereka adalah untuk mendirikan agama ruh tanpa otoritas institusi seperti yang diinginkan Luther. Institusi selalu menjadi sumber penindasan terhadap para pembaharu dan pemikir bebas. Inkuisisi adalah sebuah institusi agama.
Institusi adalah perampasan kekuasaan Tuhan dan juga manusia untuk memberdayakan dirinya sendiri, melawan baik Tuhan maupun manusia. Institusi juga merupakan sebuah konsep sekunder yang tidak berguna bagi dialog antar-agama.Akhirnya, sejarah adalah sebuah konsep sekunder dalam agama. Agama berbeda dari perwujudannya dalam sejarah. Terdapat perbedaan tingkat antara de jure dan de facto, antara sein dan seinsollen, antara fakta dan norma. Sejarah penyelamatan adalah sesuatu, dan penyelamatan adalah sesuatu yang lain. Santo Agustinus telah membuat perbedaan antara Kota Dunia dengan Kota Tuhan dalam Civitate Dei.
Semua yang terjadi dalam sejarah adalah bagian dari sejarah manusia. Perbedaan antara Kristianisme dengan Kristianitas terletak pada kaidah tersebut. Gerakan protes Luther hanya untuk menganggap gereja sebagai bagian dari sejarah manusia, bukan termasuk ke dalam esensi agama. Apabila tidak demikian, maka agama bertanggung jawab atas semua yang terjadi dalam sejarah yang mengatasnamakannya, di bawah dalilnya atau yang ditutupinya. Membunuh, menyiksa, membakar, mengucilkan, menghakimi, membuang dan mengutuk, menyatakan murtad, dan lain-lain, semua tindakan eksklusif ini menjadi bagian dari sejarah dan bukan agama. Apabila sejarah adalah agama, maka tidak akan ada manusia yang religius. Penerapan agama dalam sejarah adalah sebuah sasaran religius tapi versi agama yang seperti apa dan kepada siapa? Sejarah, bahkan apabila ia adalah sejarah penyelamatan, merupakan sebuah konsep yang sekunder, bukan yang esensial. Ia tidak dapat menjadi acuan dalam setiap dialog antar-agama.
Sebaliknya, terdapat konsep-konsep esensial yang dapat berfungsi sebagai acuan yang baik untuk dialog antar-agama. Daripada dogma, terdapat Transendensi, yang secara etimologis berarti selalu melampaui, selalu mencari puncaknya, selalu tertuju kepada yang tak terbatas. Transendensi membebaskan pikiran manusia dari dogmatisme, fiksasi, pendewaan dan materialisme. Ia didasarkan pada perbedaan antara yang terbatas dengan yang tak terbatas, yang tampak dengan yang tak tampak, yang terlihat dan yang tak terlihat, yang material dan yang formal, …dan lain-lain, Solvitur in Excelsis. Itulah kenapa Leibniz mampu membuat Okumenismenya.
Di puncak gunung, semua pihak bertemu. Transendensi sebagai sebuah konsep metafisik tampak sebagai sebuah kode etik universal, sebuah norma perilaku, sebuah nilai untuk dikuasai. Ia sama dengan bukti rasional, dengan kecenderungan umat manusia untuk selalu mencari yang melampaui. Dalam yang universal, semua yang partikular bertemu. Transendensi melindungi persamaan semua orang, budaya dan agama. Secara de jure, mereka semua sama. Ia merupakan motivasi untuk berjuang melawan semua bentuk ketidaksetaraan yang bisa ada secara de facto. Dengan Transendensi, sebuah dialog menjadi mungkin karena semua pihak setara. Mereka memiliki sebuah tujuan bersama. Mereka tertuju kepada sebuah sasaran bersama. Tanpa ruh Transendensi, pihak-pihak yang ada akan bertikai satu sama lain, setiap pihak akan berbuat seolah-olah sebagai pemegang kebenaran.
Atau, mereka bisa berdiri terpisah satu sama lain di bawah dalih pluralisme yang menciptakan ruang untuk hidup berdampingan, dan bukan untuk saling-bertukar.Konsep Transendensi membawa kita ke konsep esensial lainnya, yaitu Kesatuan. Karena Transendensi memotivasi kesadaran manusia untuk selalu bergerak melampaui, maka titik tertingginya hanya satu, yaitu Vanculum Substantiale dari Leibniz. Kurang dari satu, dualisme, triadisme atau pluralisme memberikan lebih banyak kemungkinan untuk bergerak, selalu pergi melampaui menuju ke kesatuan asal. Kebanyakan sistem filsafat sedang mencari kesatuan, kesatuan asal adalah satu elemen material, seperti mazhab Elea atau satu prinsip rasional, Ide Plato atau bentuk murni yang terpisah. Mistikus juga sedang mencari kesatuan, kesatuan dengan Kosmos atau kesatuan dengan Tuhan, Panentheisme atau Pantheisme. Semua penyair dan filosof romantis merasakan kesatuan ini dalam sistem filsafat mereka, Schelling, Fichte dan Hegel atau dalam visi syair mereka, seperti Goethe dan Schiller. Kesatuan asal, kesatuan takdir, kesatuan dalam hidup, dalam kepribadian manusia, antara berpikir, merasa, berbicara dan bertindak, dalam masyarakat antara kelas sosial dan kesatuan umat manusia melawan segala bentuk pembedaan atas dasar warna kulit, ras atau agama, semuanya adalah bentuk-bentuk berbeda dari kesatuan.
Kesatuan adalah konsep esensial di balik semua pengalaman kasih sayang, rasa hormat, persahabatan, dedikasi dan pengorbanan. Dalam dialog antar-agama, kesatuan pihak-pihak yang terlibat disyaratkan. Keseluruhan dialog dimaksudkan untuk mengangkat perbedaan, untuk menemukan divergensi agar bisa diorientasikan menuju konvergensi.Daripada ritual yang bersifat sekunder, terdapat perbuatan baik yang bersifat esensial. Berdoa bisa berbeda dalam bentuk, tetapi sama dalam kesalehan. Puasa bisa berbeda dalam kuantitas, tetapi semua bentuk puasa sama dalam kualitas. Perbuatan baik adalah satu yang disepakati oleh semua makhluk nasional, memberikan makan kepada yang lapar, membantu yang melarat, melindungi yang lemah, menghijaukan padang pasir, membawa air ke daerah gersang. Perbuatan baik adalah ekspresi karunia dalam alam, karena alam bersifat baik, diciptakan oleh karunia Tuhan.
Tidak hanya perbuatan individual, tetapi juga perbuatan komunitarian, mewujudkan kebaikan umum tertinggi untuk semua. Mengabdi adalah bentuk perbuatan baik yang tinggi nilainya. Memberi tanpa menerima, memprakarsai bahkan tanpa menunggu balasan, mengorbankan diri demi kebaikan semua, seperti dalam kesyahidan, adalah bentuk tertinggi dari perbuatan baik. Perbuatan baik adalah satu-satunya kriteria penyelamatan di hari akhir ketika setiap individu akan dinilai berdasarkan jasanya. Perbuatan baik adalah konsep yang esensial, yang memungkinkan setiap dialog antar-agama.Apabila dogma adalah misteri yang melampaui akal manusia, apabila simbol dan citra digunakan secara harfiah, maka akal manusia akan datang, sebagai sebuah konsep esensial yang memungkinkan dialog antar-keyakinan. Lagipula adalah akal manusia yang membuat manusia mampu berkomunikasi satu sama lain.
Akal diberikan secara alamiah, sebuah cahaya alamiah dalam setiap manusia, sebuah Lumen Naturalis. Argumen akal lebih komunikatif daripada argumen otoritas, otoritas teks atau otoritas tradisi. Akal manusia bersifat umum sementara teks dan tradisi tunduk kepada penafsiran. Tidak ada yang misterius dalam agama. Akal mampu memahami apa yang diberikan kepadanya sebagai obyek refleksi. Bahkan Tuhan adalah sebuah tindakan kognisi. Wahyu dan akal adalah sama, berasal dari jenis yang sama. Dalam hal terdapat pertentangan nyata antara akal dan kitab suci, maka akal akan bertahan dan kitab suci ditafsirkan sesuai dengan akal. Kitab suci tunduk kepada berbagai penafsiran, hanya memberikan dugaan, sementara akal berdasarkan pada bukti, memberikan kepastian. Akal tidak mengakui pembimbing manapun di atasnya, karena apabila demikian ia akan menjadi justifikasi atas penindasan dan kediktatoran.
Akal tidak mengabsahkan sesuatu yang diandaikan sebelumnya, tetapi ia menggunakan pengandaiannya sendiri. Ia merupakan konsep yang esensial dalam semua dialog antar-agama yang dimungkinkan.Bertentangan institusi sebagai sebuah konsep sekunder dalam agama, kebebasan manusia tampil sebagai konsep yang esensial. Individu adalah keseluruhan institusi, bebas dan otonom. Dalam Islam, kebebasan kehendak adalah prinsip individuasi yang memungkinkan pemahaman bahwa ada sesuatu yang lain, yang berbeda dari tuhan dan berada di luarnya. Akal manusia bisa membuktikan Tuhan itu ada dengan semua bentuk pembuktian keberadaan Tuhan yang mungkin dan dikenal, ontologis, kosmologis, teleologis, dan lain-lain, sementara kebebasan kehendak adalah satu-satunya cara untuk membuktikkan bahwa individu itu ada. Saya bebas, maka saya ada.
Cogito Islam bersifat praktis, didasarkan pada kebebasan manusia, bukan pada kognisi manusia. Itulah kenapa pendekatan Barat bersifat teoritis, sementara Islam bersifat praktis. Yang pertama bersifat epistemologis, yang kedua bersifat aksiomatik. Kebebasan manusia adalah prasyarat dari tanggung jawab individual, prasyarat dari sebuah penilaian yang adil pada hari akhir sesuai dengan hukum jasa. Manusia dilahirkan bebas, bertanggung jawab secara individual atas perbuatannya sendiri, tidak membawa kesalahan apa pun, sebuah dosa asal yang tidak dilakukannya. Ia dapat menyelamatkan dirinya dengan dirinya, dengan kekuatan kognisinya untuk membedakan antara yang benar dan yang salah dan dengan kebebasannya untuk memilih yang benar dan bukan yang salah, tanpa adanya kebutuhan akan penyelamat dari luar.
Kebebasan manusia adalah sebuah konsep esensial untuk setiap dialog antar-agama.Akhirnya, apabila sejarah adalah sebuah konsep sekunder, maka komunitas adalah sebuah konsep yang esensial. Individu bukanlah seorang pengembara yang hidup sendirian, tetapi merupakan anggota sebuah komunitas. Dimensi komunitarian ini dalam individu memerlukan penerapan keadilan sosial melalui solidaritas sosial dan kohesi sosial, melalui inisiatif individu atau komitmen sosial. Kesejahteraan umum lebih tinggi daripada kepentingan pribadi individu. Solidaritas manusia adalah sebuah nilai yang positif, tak dapat ditolak oleh semua makhluk rasional. Tuhan menciptakan semua manusia setara.
Perbedaannya hanyalah dalam kebajikan dan kemuliaan perbuatan. Kemiskinan adalah fenomena buatan-manusia. Ia dapat diatasi melalui solidaritas manusia. Kepemilikan lebih bersifat publik daripada pribadi. Manusia datang dan pergi dari dunia ini, membawa hanya perbuatan baiknya, dan bukan kekayaannya. Kerjasama antar-keyakinan bukan hanya persoalan saling memahami, menghormati dan mengakui, tetapi juga persoalan proyek bersama untuk keberlangsungan manusia dan kesejahteraan umum, berjuang melawan kelaparan pada musim kering, penyakit, kebodohan, buta huruf dan keterbelakangan. Ini merupakan konsep-konsep esensial untuk dialog antar-agama, bersifat efisien dan produktif, jauh dari saling menerima yang bersifat persaudaraan dan pertukaran diplomatik.[]
Catatan Kaki:1. E. Durkheim: Les Formes Elémentaire de la Vie Religieuse, PUF, Paris.2. Bergson: Les Deux Sources de la Morale et de la Religion, PUF, Paris, 1955.3. W. James: The Varieties of Religious Experience, Collier, N.Y., 1972.4. Van der Leuw: Religion, its Essence and Manifestation, Payot, Paris, 1955.Diterjemahkan oleh Muhammad Zaki Hussein dari “Impediments to Inter-Religious Dialogue"
Tulisan ini diambil dari http://bahrulhaq.multiply.com/journal/item/38/Hambatan-Hambatan_dalam_Dialog_Antar-Agama
Comments