Sufyarma Sahabat Abadi: Ligat, Liek, Tegas dan Santun

Prof Dr H Sufyarma Marsidin, M.Pd. (Internet)




Sufyarma Sahabat Abadi: Ligat, Liek, Tegas dan Santun





“Gajah mewariskan gading, harimau mewariskan belang, manusia mewariskan nama. Sahabatku Sufyarma  abadi dalam ligat, liek, tegas dan santun” 



Tiba-tiba saja saya sadar. Pada 09 Februari 2024  ini Prof. Dr. H. Sufyarma Marsidin, M.Pd bermilad ke-70. Seorang teman saya yang insya Allah abadi dalam persahabatan. Setelah melalui  pencarian yang panjang menyesuaikan dengan hari dan kalender hijriah,   ternyata saya lahir hari Ahad 17 Juni 1951 bertepatan dengan 12 Ramadhan 1370. Walaupun dalam KTP dan dokumen resmi tercatat 12 Desember 1952. Artinya usia saya terpaut 3 tahun dari beliau. 

Persahabatan kami berkelindan dalam rajutan keikhlasan dalam kebersamaan. Setelah lama tak satu “kapal pesiar” kehidupan, sekarang kami bersama lagi sebagai  anggota Tim Ahli-Dewan Pakar DPRD Provinsi Sumatera Barat dengan  beberapa pakar lain dari berbagai unsur. Begitu pula sejak 1990-an sampai sekarang tetap bersama tokoh lain di ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia). 

Kami selalu saling curhat, diskusi mendalam soal umat dan daerah. Sekaligus saling memberi info A1-Classified (hal-hal rumit) tentang perkembangan daerah dan bangsa serta hal-hal yang berbau politik serta keummatan.

Di zaman Orde Baru (1966-1998), masa-masa muda kami sepantaran kelahiran 1950-an amat lah berkesan. Artinya saya dan Sufyarma adalah generasi Baby Boomers, mensinyalir istilah kategorisasi generasi belakangan ini dalam konteks revolusi IT 4.0 atau 5.0. 

Masa kecil  kami sama-sama Orde Lama (1955-1965) dan masa remaja awal kami diperalihan Orla dan Orba th 60 ke 70-an. Ini adalah penggalan kehidupan kami yang insya Allah tak pernah  terlupakan sampai Allah menjemput ke rahim dan rahman-Nya pada waktu yang pasti menurut kalender Sang Maha Pencipta, Allah swt. 

Secuil Pengalaman


Tulisan ini ingin menggili secuil pengalaman. Saling mengenal sesama pegiat kampus di peralihan 70-80 an abad lalu. BA., (Sarjana Muda) dan Drs.  (Sarjana Lengkap)  kami sama di Padang. Beliau di IKIP-UNP dan saya di IAIN-UIN Padang. 

Kami sama-sama menjadi pegiat  di berbagai organisasi Pemuda dan Masyarakat.  Dan kami sama-sama di Organisasi Politik Golkar Sumbar. Setelah Sufyarma selesaikan Master di IKIP Bandung-UPI dan saya di IAIN-UIN Jakarta, kami pada Pemilu 1992 terpilih menjadi anggota DPRD Sumbar 1992-1997 Fraksi Golkar. 

Pada tenggang waktu inilah persahabatan kami menjadi lengket. Saya melanjutkan ke Priode 1997-1999 di DPRD. Sufyarma focus menyelesaikan doktoralnya IKIP-UPI Bandung dan saya  sambil berpolitik  melanjutkan doctoral di IAIN-UIN Jakarta.

Seingat saya arus paling deras membawa kedekatan kami adalah sebagai pegiat masyarakat dan politik pada masa tadi. Di samping sebagai pembicara muda di berbagai iven publik. Kami sama-sama pegiat PII pada mulanya. Kemudian Sufyarma di HMI. Saya hanya setahun 1972 di HMI dan pindah ke IMM. Belakangan Sufyarma menjadi Ketua Badko HMI Sumbar-Riau. Guru Besar SDM UNP ini kemudian aktif di Tarbiyah Islamiyah. Lalu saya paling banyak giat di IMM, Pemuda Muhammadiyah dan kemudian di Muhammadiyah. 

Di Awal abad ke-21 ini,  Sufyarma dipilih umat menjadi ketua DPD Taribyah-Perti Sumbar (2019-2024) dan saya menjadi Ketua PW Muhammdiyah Sumbar dua priode (2015-2022;  2000-2005)

Ligat, Liek,  Tegas dan Santun


Ligat yang saya maksud adalah pemikir, penganalisis dan pekerja keras.  Liek, dalam Bahasa Minang, terminologi sendiri bagi saya adalah karakter yang pantang menyerah. Walaupun begitu  tetap seperti karet ada fleksibilitasnya. 

Sementara tegas, jangan coba-coba melenceng dari apa yang disedang ditargetkan untuk dilaksanakan atau konsepsi yang harus dijalankan. 

Begitulah saya mempersepsikan dan mendiskripsikan Ketua Senat Akademik UNP yang kini menjadi Rektor UNES Padang ini.

Tiga diksi ligat, liek dan tegas itu, agak banyak dipunyai teman saya yang lain. Tetapi tidak banyak sahabat saya yang  berkarakter ke-4, santun. 

Semakin Sufyarma berdebat dengan lawan pikirannya dan bila orang yang dihadapannya menyerempet ke luar dari pokok pembicaraan, bukannya marah, tetapi Sufyarma makin merendahkan suara dan memperlambat ritme, lalu menggelombang intonasi perlahan. 

Saya punya pengalaman pribadi dengan sahabat yang lain yang tak kalah ketokohannya dengan Sufyarma. Sekali saya salah, langsung bak “mitraliyur” suaranya tinggi “mengata-ngatai” saya dengan “sumpah  serapah”. 

Beda dengan Sufyarma, saya agak “penghiba hati”. Cepat surut dan diam. Sufyarma dengan santun selalu menghadapi orang-orang yang kasar dengan caranya sendiri dengan bijak dan akhirnya lawannya paham. Saya pikir Sufyarma tokoh yang Tangguh. Tak mudah diotak-atik, meski dengan cara apapun.

Ada frasa dalam buku kumpulan kata hikmah  ujung 1960-an ketika saya masih santri Madrasah di Padangpanjang. Yang melekat di kepala ini. “ Seribu sahabat sangat sedikit, satu musuh sangatlah banyak”. 

Sufyarma, dalam karakter ligat, liek dan tegas itu sebenarnya tidak terlalu disukai oleh sebagian teman saya yang lain yang juga pada dasarya adalah pula teman Sufyarma juga. Ini terasa getarannya ketika kami sama-sama aktif di dunia politik. Mulai dekade 80 sampai 90-an abad lalu. 

Di atas sudah disinggung. Kami sama-sama menyelesaikan semua strata akademik di Universitas. Beliau duluan selesaikan Doktor Ilmu Pendidikan dan saya terlambat menyelesaikan Doktor Ilmu Studi Islam. 

Pada hal ketika penelitian, beliau pernah meminjam buku kepada saya tentang Engku Syafii dan INS Kayu Tanam. Entah sudah dikembalikan atau belum, saya lupa. Beliau Profesor Penuh.  Dan saya rupanya ada penyebutan dalam Bahasa Inggris ketentuan  Dosen pangkat  Lektor Kepala IV/b disebut Associate Profesor. Bahasa awamnya teman  Profesor. 

Ketika ada yang sebutkan di public saya Profesor, saya protes. Tetapi belakangan oleh Dr. Yulizal Yunus, sahabat kami berdua yang lainnya, mengatakan ada aturan sebutan dalam Bahasa Inggris untuk Associate Professor itu. Dan itu  dibenarkan Sufyarma dan saya terpaksa diam.

Sufyarma tak pernah di depan saya mengasari atau berkata tak pantas kepada orang lain betapa pun pedihnyanya. Ini sudah begitu sejak  di masa kami muda dulu. Pada ujung 4 atau 5 dekade lalu, sering sekali ada forum hangat bahkan seperti mau berkelahi.

Perebutan posisi di Golkar, di KNPI, AMPI (Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia-lahir 1978-sayap Golkar). Saya emoat kali menjadi pengurus KNPI Sumbar. Ketika kali kedua sebagai Wakil Ketua, hampir menang didukung hampir 20-an OKP, tiba-tiba saya menjadi redup karena ada kekuatan lain yang tak ingin saya menjadi Ketua KNPI Sumbar. 

Pada hal masa itu saya adalah penggerak pemuda nasional dan internasional bahkan menjadi utusan KNPI bersama Yonda Djabar pada Sidang Umum PBB di New York 1988. Dan sebelum itu saya juga hadir di  SU PPB itu pada 1984 atas nama pemuda dunia sebagai Koordinator Negara Pertukaran Pemuda dari Kanada  bersama 36 kontingen pemuda dunia. 

Kembali ke dinamika lokal tadi, bertarung  menjadi Caleg DPRD Sumbar, sampai menjadi anggota DPRD Sumbar (saya nyambung ke periode pendek 1997-199). Itu semua sengit perjuangan dan berliku-liku. 

Di balik itu semua, Sufyarma pintar. Tahu dia aktifis PII dan HMI akan kesulitan berenang di kancah politik Golkar ia bermanuver. Ayahnya  purnawirawan ABRI-TNI membuat dia aktif di FKPPI. Masa itu mayoritas mutlak politik adalah Golkar. Dua lainnya PPP dan PDI-kemudian PDIP adalah minoritas. Dinamika dalam Golkar sangat sengit.


Dalam kondisi masa itu kompetisi internal Golkar dan dalam fraksi sangat intens dan dinamis. Saya, kata seseorang teman lain, pernah diancam dengan senjata tajam oleh seorang kader Golkar mengapa saya Caleg dan tokoh itu tidak.

Ini saya tahu belakangan. Betapa lagi Sufyarma, karena berada di tengah organisasi Putra Putri Purnawirawan ABRI. Mungkin lebih tinggi titik didihnya. 


Tiga Jalur dalam Golkar


Ada opini bahwa zaman orba semua aman , tertib, damai dan serba diatur oleh Pemerintah- Golkar dengan Ketua Dewan Pembina tingkat Pusat adalah Jenderal Besar Soeharto Presiden masa itu. 

Pemikiran seperti itu mungkin melekat di pikiran mereka yang berusia  di bawah 40 tahun dewasa ini. Hal itu tidak sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya salah. Dalam hal politik meski hanya ada 3 poros, Golkar, PPP dan PDI-kemudian PDIP, yang saya tahu di daerah dalam hal ini Sumbar, sangatlah dinamis dan beraneka warna.

Saya dan Sufyarma harus betjuang berlika-liku.  Kalangan Islam (dalam  hal ini tokohnya) dianggap semua PPP. Lalu kalangan tokoh agama lain dan disebut pula kaum sekuleris ada di PDI-PDIP. 

Meski mayoritas di ke-3 kuatan Orpol (Organisasi Politik) itu, mayoritas muslim, akan tetapi kategorisasi sub-kuntur politik Islam, nasionalis dan sekuler itu sudah jauh ada bahkan sejak awal kemerdekaan atau oleh beberapa literatur disebut era demokrasi liberal (1945-1955).

Di Golkar ada 3 jalur sebagai kanalisasi fungsionaris ketiga sub-kurtur politik itu. Mungkin sekarang disebut politik identitas.  

Jalur A  adalah ABRI-TNI-Polri-Organisasi sayap FKPPI (Forum Komunikasi Putra Putri Indonesia) (FKPPI). Legiun Veteran dan sayapnya Pemuda Panca Marga (PPM). Hal ini didukungh oleh Undang-Undang tentang Dwi Fungsi ABRI, di samping fungsi Hankam (Pertahanan Keamanan)  adalah fungsi Sosial Politik (Sospol). Dwi Fungsi ini adalah gagasan berasal dari Jendral AH Nasution

Mungkin agak diterima oleh jalur ini walaupun bukan seidentitas dengan mereka. Hal itu dikaitkan kedekatan saya dengan keluarga besar TNI-ABRI masa itu. Sebagian besar perwira militer di Sumbar pada Kodam III saya kenal dan sering menjadi mentor kami di Menewa. Saya sangat giat sebagai anggota Resimen Mahasiswa Pagaruyung yang selalu dibuna oleh Kodam 17 Agusrtus dan Kodim Padang.  Beberapa pelatihan militer dan rutin latihan menembak serta ke-samaptaan atau keterampilan militer lainnya. Saya beberapa  kali menjadi Komandan Peleton (Danton), Komandan Kompi (Danki), Komandan Batalyon (Danyon)  dan Kepala Staf Resimen Mahasiswa (Kasmen) dari 1974-1980. Untuk yang terakhir ini saya bahkan dipinjamkan oleh Kodim Padang senjata laras pendek alias Pistol F45 untuk latihan rutin tadi. Saya mengikuti Latihan Dasar, Menengah dan Lanjutan  di Rindam III Padang dan Kursus Kader Pimpinan IX Menwa se-Indonesia di Pusat Cadnas (Cadangan Nasional) Jakarta dari Januari sampai April 1976. Pada semua latihan itu saya mendapat pendalaman doktrin soal Dwi Fungsi ABRI-TNI dan Kewiraan di samping pelajaran materi lainnya.

Jalur B Pegawai Negeri (Korpri), yaitu mereka yang menjadi tokoh di pemerintahan. Kalau di Nasional Ketua Wanbim (Dewan Pembina) adalah Presiden, maka di Proviinsi Ketua Dewan Pertimbangan (Wantim) adalah Gubernur dan Untuk Kota/Kabupaten adalah Ketua Dewan Penasihat (Wanhat) adalah Wako dan Bupati sampai ke bawah ke Kecamatan. 

Jalur G,  Organisasi yang melahirkan, mendukung dan dilahirkan Golkar. Yang melahikan adalah MKGR, Kosgoro dan Soksi. Tokoh utama mereka Jendral Sugandhi, Mas Isman dan Jendral Suhardiman. Untuk Sumbar,  yang dilahirkan Golkar ada LKAAM, Bundo Kanduang, Guppi, MDI, Satkar Ulama, al-Hidayah, Wanita Golkar. Sayap pemuda KNPI, AMPI. Sayap seniman dan budayawan HSBI. Sayap pekerja Federasi Buruh Seluruh Indonesia dan puluhan organisasi lainnya.

Saya dan Sufyarma masuk di jalur G. Saya di MKGR dan Sufyarma di Soksi. Kami sama-sama pernah menjadi Sekretaris DPD Provinsi di organisasi yang melahirkan Golkar 20 Otober 1964 bersama 10 organisasi lainnya masa ujung Orla itu. 

Barulah kemudian saya dan Sufyarma masuk struktur organisasi induk, yaitu Golkar. Perlu disebut Golkar tidak disebut Parpol (Partai Politik) waktu itu tetapi Orpol (Organisasi Politik) yang dilegalisir UU menjadi peserta Pemilu 1971. 

Belakanghan setelah di Biro kami naik menjadi Wakil Sekretaris Golkar Provinsi di masa Ketua DPD Golkar Tk I Provinsi yang juga menjadi Ketua DPRD Sumbar Prof Drs H. Jamil Bakar sebelumnya Rektor IKIP yang veteran dan mantan tentara pelajar zaman revolusi kemerdekaan. 

Pada kepemimpinan  Brigjen TNI Nur Bahri Pamuncak menjadi Ketua DPD Golkar Provinsi Sumbar, saya menggantikan Ir. Suwatri menjadi Sekretaris Golkar Provinsi karena Sekretaris waktu Ir. Suwatri terpilih menjadi Anggota DPR RI setelah sebelumnya anggota DPRD Sumbar. 

Saya ingin menyebut selain kami berdua  anggota DPRD Sumbar beberapa  lainnya anak muda Golkar sampai tahun 1999 adalah H.Marizal Umar “Aciak” (sudah sudah sejak 1977), H. Bahrum Yonda Djabar, Ir. Hendra Irwan Rahim, Sastry Yunizarti Bakri, Irwan Anas Malik, B.Sc., Azmal Zain, B.Sc., Drs. Ali Umar Ganti, Ir. Indra Syarif , Tuanku Mudo Ismet Ismail dan lainnya. Semua mereka akarnya dari 3 jalur di atas tadi.

Kami yang dianggap ada akar ormas islam menjadi bumbu oleh para politisi Golkar untuk dipajang. Sumbar  dikenal kuat agamanya, apalagi dengan world-view  (pandangan dunia) filsafat  dan menjadi adagium ABS-SBK (Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah)  diidentikkan sebagai identitas Islam lebih kental. 

Maka pada Pemilu 1971 (9 Parpol & 1 Golkar) dan 1977 (Golkar, PPP, PDIP) dengan segala daya upaya Golkar hanya menang mayoritas tipis. Pada 1971  Golkar hanya 63 % dan 1977 hanya 66,50 %.

Pada masa itulah poiltik lokal Golkar di Sumbar menjadi lebih agresif merekrut kalangan Islam. Dan pemimpin ormas Islam menjadi objek yang lebih kondusif oleh Golkar sebagai sasaran simbol diletakkan sebagai Caleg. Itu pun melalui filter yang sangat ketaty ooeh 3 jalur. 

Khusus untuk saya dan Sufyarma meski sudah berkali-kali  menjadi pengurus DPD Golkar Provinsi barulah Pemilu 1992 kami menjadi anggota DPRD Sumbar, Sufyarman 1982-1997 dan saya 1982-1997-1999. Belakangan karena ada PP No 12 jo  25 tahun 1999 kami memilih memadi tetap sebagai dosen ASN sampai purna tugas. Dan kami berdua—kalu boleh saya mengklaim, insya Allah tak kan berhenti berjuang untuk kebaikan meski usia tidak muda lagi. ***
















Comments

Popular posts from this blog

Otonomi dan Perjuangan Pribumi Indian di Amerika

Cerita Di Balik Munculnya Usulan Jokowi Tiga Periode