Islam dan Demokrasi
Selasa, 29 Juli 2008 | |
Penerapan demokrasi di Indonesia lebih maju dibanding dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya. Meski begitu, penerapan sistem demokrasi di negeri ini bertolak belakang dari prinsip-prinsip dasarnya. Sebab, esensi dari demokrasi adalah mengutamakan kepentingan rakyat banyak, bukan mengedepankan kepentingan kelompok atau golongan. Demikian benang merah yang terangkum dari diskusi pakar studi Islam dari Universitas Adelphy New York Prof Abdin Chande, pakar politik dari Maroko Prof Dr Said Kh El Hassan, dan Rektor Universitas Muhammadiyah Sumbar Dr Shofwan Karim Elha MA dengan awak redaksi Padang Ekspres, di Carano Room, kemarin. Sebelumnya, mereka tampil pada seminar international yang digelar di IAIN Imam Bonjol Padang dengan tajuk “International Seminar on Al Quds History and Demografy”. Hadir dalam diskusi tersebut, Pemimpin Umum Padang Ekspres H St Zaili Asril, dan jajarannya. Prof Abdin Chande menyatakan, penerapan demokrasi di Indonesia cenderung lebih mengutamakan keberadaan parpol. Ini didasarkan pada kemunculan sejumlah parpol terlebih menjelang pesta demokrasi. Abdin yang juga sumando rang Sianok, Bukittinggi ini menilai, saat ini aplikasi sistem demokrasi di Indonesia bisa dikatakan berbeda bila dibandingkan beberapa dekade, atau tepatnya di era kepemimpinan Soeharto. “Demokrasi saat itu bisa dikatakan berjalan baik. Setiap pelosok kampung yang saya datangi di Indonesia, ternyata telah ada kemajuan. Penduduk sudah mampu hidup mapan, dibuktikan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat dan sampai ke pelosok mereka bisa menikmati televisi yang disambungkan dengan parabola. Demikian pula dengan kondisi jalannya yang sudah banyak diaspal,” ujarnya seraya menyatakan bahwa saat ini muncul semacam harapan untuk kembali ke sistem pemerintahan di era Soeharto. “Seperti inilah nilai harfiah dari sebuah demokrasi. Kepentingan atau kemakmuran rakyat lebih utama dibandingkan kepentingan golongan atau kelompok. Dengan makmurnya rakyat, maka negara akan kuat,” tukasnya lagi. Abdin mengakui, untuk negara asalnya di Uganda yang memegang azas demokrasi, ternyata tidak seberhasil Indonesia. Demokrasi dijalankan hanya sebatas golongan tertentu saja. “Hal inilah yang sering menjadi permasalahan bagi warga negara asalnya tersebut,” sambung Abdin lagi. Me-resume tema diskusinya di IAIN bertajuk “Islam and Democracy”, Abdin menyatakan bahwa ada dua pendapat tentang Islam dan demokrasi. Yang pertama, tidak ada hubungan antara Islam dengan demokrasi. Islam merupakan agama. Sementara demokrasi soal rakyat yang merupakan soal sekuler. Dalam Islam, kalau ketentuan tentang Al Quran dan hadist tak perlu lagi diperdebatkan, demokrasi tidak ada hubungannya dengan soal Ketuhanan.. Pendapat ini muncul di kalangan kaum tradisionalis. Seperti antara lain Abul A'la al-Maududi di Pakistan dan beberapa yang lain di Timur Tengah. Yang kedua mengatakan ada hubungan yang signifikan antara Islam dan demokrasi. Mereka menekankan kepada pentingnya makna syura (musyawarah),. persamaan hak-hak manusia dan keadilan seperti pendapat Muhammad Abduh di Mesir dan Fazlurrahman di Amerika .Pendapat ini berkembang di kalangan Islam modernis. Sementara pakar politik dari Maroko Prof Dr Said Kh El Hassan menyebut bahwa demokrasi itu berhubungan dengan sistem nilai. Nilai-nilai paling tinggi itu adalah Tuhan. Di luar tuhan adalah nilai-nilai yang bersifat duniawi. Di sisi lain, Prof Dr Said yang akan menggelar konferensi untuk memperjuangkan Al Quds (Jerussalem), sebagai kota suci ketiga umat Muslim yang dijajah Israel, di Jakarta, menyatakan, pihaknya konsen memperjuangkan Al Quds yang kini dikangkangi Israel. “Zionis Israel itu menolak mentah-mentah peradaban Islam. Ini harus terus kita perjuangkan. Intinya, kami ingin mensosialisasikan bahwa isu Al Quds bukan hanya menjadi isu Palestina atau Arab saja, tapi seluruh umat Muslim di dunia,” ujar prof keturunan Palestina itu. Ia menyatakan, pihaknya memilih Jakarta untuk tempat konferensi Al Quds karena merupakan ibukota negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Pakar studi IslamUniversitas Adelphy New York Prof Abdin Chande (tengah), menyampaikan pemikirannya, di Carano Room, kemarin. Negara Barat dengan pengaruh politiknya hingga kini terus berupaya mengelabui pihak dunia dengan melontarkan isu bahwa demokrasi yang diinginkan warga Arab, khususnya Palestina tidak bisa diterapkan karena akan memicu konflik berkepanjangan. Pada hal, sebut Said, pola ini merupakan langkah propaganda dari pihak zionis Israel agar niat mereka untuk tetap bercokol di Al Quds bisa lebih lama. Sebagai gambaran, lanjut pakar politik ini lagi, bahwa sistim demokrasi yang dipakai bangsa Arab, sejak 14 abad lalu tidak memakai sistem belah bambu. Aplikasi demokrasi yang berpijak pada ajaran Islam yang diterapkan saat itu malah memberikan kebebasan bagi bangsa lainnya ingin tinggal di Al Quds khususnya dan Palestina umumnya. Jadi bisa ditegaskan, kata Said lagi, keberadaan Zionis Israel bersama kroninya di Palestina bertujuan menlawan peradaban negara Islam, dan bukan soal agamannya. Tentunya, ada pertanyaan kenapa langkah itu dilakukan pihak Zionis Israel, tanya Said Kh El Hassan. Ini tidak lain karena perspektif demokrasi yang dianut Israel dan kroninya itu lebih mengarah pada kehendak individu atau golongan. “Cara ini jelas bertolak belakang pada azas demokrasi sebenarnya, yang berangkat pada kepentingan rakyat,” tukasnya. (***) |
Comments