Etika Agama dan Pariwisata


Etika Agama
Dalam Pembangunan Pariwisata

Oleh Shofwan Karim 

Abstract:
Islamic religion has covered complete system of theology, ritualistic, ethic and social affairs. Islamic ethic could become and have a high role in the development of tourism. Without Islamic ethic, tourism will faraway or contradictory to Indonesian nation and state’s pilosophy what so called five prinsiple of Pancasila .

Kata kunci : Islam, etika dan pariwisata.
I. Pendahuluan
Agama sebagai suatu peraturan Tuhan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal untuk dengan kehendak dan pilihannya sendiri mengikuti peraturan tersebut, guna mencapai kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat (Mu’in, 1986:121) . Agama sebagai yang dipahami secara umum adalah ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul (Nasution, 1979: 10). Islam adalah agama wahyu yang disebut al-Din. Ia mencakup tatanan semua kehidupan manusia melingkupi aspek akidah (teologi), ibadah (ritual), akhlak (etika) dan muámalah (sosio-kultural). Di dalam ungkapan lebih sederhana, ketercakupan itu merupakan pengaturan hubungan dengan Allah dan hubungan sesama manusia. Para ulama klasik menyebut Islam itu adalah aqidah dan mu’amalah. Mu’amalah di sini mereka rinci menjadi mu’amalah yang berhubungan dengan Tuhan dan muámalah yang berhubungan dengan manusia. Pada umumnya mereka cendrung memahami ajaran Islam melalui pendekatan nash (tekstual) atau doktriner.
Belakangan, ulama khalaf (belakangan) dan mutaakhir (kontemporer) seperti Syaikh Mahmud Syaltut menyebut Islam itu adalah akidah dan syariah. Syariah dibaginya menjadi ibadah, akhlak dan muámalah. Sementara Fazlur Rahman menyebut pokok ajaran Islam ada tiga: percaya kepada keesaan Tuhan; pembentukan masyarakat yang adil dan kepercayaan hidup setelah mati. Untuk lebih memudahkan pemahaman para ulama yang masyhur merinci lagi Islam sebagai Aqidah, Ibadah, Akhlak dan mu’amalah. Di dalam akidah dan ibadah, pandangan agama dibimbing oleh satu kaidah: jangan lakukan sesuatu kecuali yang disuruh dengan nash dan dalil yang kuat. Didalam akhlak dan muámalah berlaku kaidah: lakukan sesuatu kecuali yang dilarang.
Dari struktur pendekatan tadi, nampaknya risalah Islam pada dasarnya membahas masalah hubungan terhadap tiga pokok : Tuhan, alam , dan manusia atau teologi, kosmologi dan antropologi (Mukti Ali,1989:42). Oleh karena itu Islam sebagai al-din al-syumuli, agama yang meliputi segala hal atau kaffah, harus memberikan kontribusi, wazan, jugement atau pertimbangannya terhadap aktivitas hidup dunia modern yang tidak bisa lepas dari tiga hal tadi, termasuk dunia kepariwisataan. Dunia kepariwisataan termasuk subsistem kehidupan yang merupakan salah satu aspek dari muámalah, atau kehidupan sosial kemasyarakatan, ekonomi, dan budaya.

Di Indonesia, pengembangan kepariwisataan merupakan agenda nasional. Agenda ini harus ditopang oleh kekuatan masyarakat. Untuk itu kepada warga masyarakat seyogyanya secara spontan atau terprogram harus memahami, mengapresiasi, serta berpartisipasi dan pada gilirannya sangat peduli dan bertanggungjawab di dalam pengembangan kepariwisataan. Untuk maksud tersebut, maka umat beragama harus memahami fungsi dan peranan kepariwisataan dan bagaimana etika agama terhadap hal ini, merupakan pembahasan berikut ni.

II. Memahami Pariwisata
Kosa kata pariwisata berasal dari kata “pari” yang berarti banyak, berkali-kali, berputar-putar dan “wisata” artinya bepergian atau perjalanan. Jadi, pariwisata berarti suatu kegiatan perjalanan atau bepergian yang dilakukan dari satu tempat ke tempat lain, dengan tujuan bermacam-macam. (Suara Muhammadiyah, 1988:22).
Di dalam makna yang umum kepariwisataan (tourism) terambil dati kata tour atau perjalanan. Menurut kamus Encarta, tour•ism (n) 1. the visiting of places away from home for pleasure 2. the business of organizing travel and services for people traveling for pleasure. Tourisme berarti (1) kunjungan ke suatu atau beberapa tempat yang jauh dari rumah untuk kesenangan: (2) urusan yang berhubungan dengan penyelenggaraan dan pelayanan bagi orangan yang melakukan perjalanan untuk kesenangan.
Di dalam bahasa Arab, kosa kata untuk berpergian atau melakukan perjalanan khusus bersang-senang disebut rihlah . Berbeda dengan safara yang berarti bepergian untuk tujuan yang lebih umum. Kata rihlah ini juga telah disinggung Al-Qurán sebagai lambang rutinitas orang Quraisy yang biasanya melakukan perjalanan di musim dingin dan musim panas.
Secara garis besar tujuan perjalanan pariwisata itu dibedakan antara :
(1) Business tourism, yaitu perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang dengan tujuan dinas, perdagangan, atau yang berhubungan dengan pekerjaan, seperti menghadiri kongres di dalam mapun di luar negeri, seminar, konprennsi, simposium , musyawarah dan lain-lain.
(2) Vacational tourism, perjalanan uantuk berlibur datau cuti.
(3) Educatitonal tourism, perjalan untuk kepentingan pendidikan, studi dan penelitin dll.
Sementara itu dilihat dari sebgi obyeknya, pariwisata itu dapat ditinjau dari beberapa jenis:
(1) Cultural tourism, wisata kebudayaan, seni, dan pertunjukan tradisoional serta penampilan dan atraksi budaya pada umumnya, kunjungan ke lokasi peninggalan masa lalu, pusat kepurbakaan dst.
(2) Recuperational tourism, jenis kepariwisataan penyegaran dan kesehatan, kepegunungan, ke darerah tertentu dan lain-lain.
(3) Commercial tourism, yaitu kepariwisataan yang dikaitkan dengan kepentingan usaha daganag, kontak produsen dan konsumen, kontak dagang saling mengtuntungkan dan sebagainya.
(4) Sport tourism, wisata untuk menyaksikan event olahraga nasional dan internasional seperti PON, Olympiade, formula, champion dll.
(5) Poltical tourism, perjalanan menyaksikan peristiwa-peristiwa tertentu di berbagai negara seperti Pemilu, pelantikan Presiden dan Kepala Negara, Raja, upaya kenegaraan dll.
(6) Advantural tourism, yaitu perjalanan petualangan, hiking, jelajah laut, hutan, gunung, arung-jeram dan lain-lain.
(7) Sosial tourism, kunjungan wisata sambil memberikan bantuan pangan, pakaian dan obat-obatan ke suatu tempat atau masyarakat .
(8) Religious tourism, yaitu perjalanan wisata bernuansa keagamaan , termasuk umrah, haji dan seterusnya. (Suara Muhammadiyah, op.cit )

Belakangan di Indonesia ada pula apa yang disebut wisata ziarah yang pada dasarnya merupakan bagian dari wisata budaya tadi. Bahkan ada yang menyebut pada akhir-akhir ini sebagai wisata religi atau agama. Yang disebut terakhir ini tentu mempunyai dasar yang relevan juga. Bukankah perosesi haji itu sendiri oleh beberapa kalangan dipahami juga meliputi aspek wisata jasmani dan ruhani atau wisata agama.
Di dalam Bahasa Inggris, hajji yang biasa disebut pilgrimage itu, juga disebut sacred journey atau perjalanan suci. Sementara di dalam Islam sendiri ibadah haji berarti jawaban untuk memenuhi panggilan Allah sesuai do’a Nabi Ibrahim as. Sebagai lambang akidah tauhid untuk kebesaran Allah swt dan merupakan tuntutan syariát yang mesti dilakukan setiap muslim dan muslimat yang mempunyai kemampuan untuk melaksanakannya. Ibadah hajji menjadi rukun (pilar) Islam yang ke-5 berdasarkan firman Allah di dalam al-Qurán.
Sementara itu di dalam kaitan dengan nilai-nilai ideal dari kepariwisataan bagi Islam adalah bagaimana ummatnya mengambil i’tibar atau pelajaran dari hasil pengamatan dalam perjalanan yang dilakukan sebagai diisyaratkan al-Qurán (QS,6 :11) . Menurut mufassir al-Maraghi, perjalanan manusia dengan maksud dan keperluan tertentu di permukaan bumi harus diiringi dengan keharusan untuk memperhatikan dan mengambil pelajaran dari peninggalan dan peradaban bangsa-bangsa terdahulu seperti yang dinyatakan pada ayat tadi dan ayat berikut, QS Fathir,35 : 44.
Selanjutnya Al-Qur’an menggambarkan pula, apabila manusia itu mau memperhatikan, mereka akan dapat melihat dan mengetahui bahwa dalam alam sekelilingnya, malah pada diri mereka sendiri (jasmaniiah dan ruhaniah) berlaku peraturan-peraturan, sunnatullah (M. Natsir, 1969 :4) Pada bagian lain Al-Qur ‘an menekankan perlunya jaminan keamanan suatu daerah atau negara serta fasilitas yang tersedia bagi para wisatawan. Hal ini ditekankan oleh mufassir al-Qurthubi ketika memahami QS Saba’ 34: 18.

III. Fungsi dan Peranan Pariwisata
Apabila direnungkan secara mendalam, berdasarkan uraian di atas tadi maka dilihat dari makna substantif dan jenis pariwisata serta kategori wisata dilihat dari objek dan kegiatan ideal yang hendak ditujunya, maka fungsi wisata pada dasarnya adalah aktivitas luar dan di dalam ruangan (out door and indoor activities) perorangan atau kolektif untuk memberikan kesegaran dan semangat hidup baik secara jasmani mapun rohani.
Fungsi kepariwisataan yang demikian ternyata di dalam perakteknya dapat dikembangkan di dalam berbagai peranannya dalam kehidupan manusia baik secara individu maupun kolektif. Di antaranya, pariwisata berperanan di dalam peningkatan ekonomi keluarga, kelompok usahawan, lebih-lebih untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karena itu, bidang pariwisata berdampak amat signifikan di dalam perekonomian negara.
Selain itu, pariwisata berperanan di dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Wisata pendidikan baik domistik maupun mancanegara, akan meningkatkan pemahaman pelakunya di dalam menguasai ilmu pengatahuan dan teknologi, pemahaman atas peristiwa masa lalu, sejarah, kepurbakalan dan sebagainya. Semuanya akan menambah wawasan dan memberi pencerahan yang optimal kepada pelakunya.
Di samping itu, pariwisata ternyata juga berperanan di dalam mengembangkan semangat, rasa dan kesadaran keberagamaan (religousness) manusia. Bahkan wisata di dalam Islam seperti telah disiinggung di atas merupakan bagian tak terpisahkan dengan ibadah seperti ibadah haji yang melakukan prosesi dan safari suci Makkkah, Arafah, Muzdalifah, Mina dan kembali ke Mekkah. Ziarah ke kota dan masjid nabawi di Madinah dan tempat-tempat bersejarah lainnya di sekitar Mekkah dan Madinah. Bahkan sekarang berkembang wisata ibadah umrah plus mengunjungi berbagai temnpat bersejarah di negara-negara Timur Tengah. Tentu saja wisata agama ini bukan hanya milik Islam, bahkan hampir semua agama memiliki wisata jenis ini dengan segala variasinya menurut kepercayaan dan sosial budaya mereka.
Pariwisata dengan demikian mempunyai peranan yang amat luas di dalam kehidupan manusia. Akan tetapi wisata yang menyimpang dari norma ideal haruslah disingkirkan seperti wisata yang hanya menekan kepada sun, sand, sea, smile and sex (matahari, pasir pantai, laut, senyum dan seks) Wisata hiburan yang mengarah kepada eksplorasi dan eksploitasi seks dan wanita dan pria yang mengutamakan kesenangan fisik yang rendah bersifat hedonistik dan erotik untuk kepuasan lahiriah dan naluriah hewaniah, inilah yang menjadi malapetaka. Bila jeinis wisata ini yang berkembang, maka pada ujungnya akan membuahkan penyalahgunaan obat terlarang dan bahkan menjadi sarang berkembangnya HIV dan Aid, mungkin pula sars.
IV. Etika Agama Terhadap Kepariwisataan
Seperti telah disinggung pada bagian terdahulu, maka pariwisata memiliki nuansa keagamaan yang tercakup di dalam aspek muámalah sebagai wujud dari aspek kehidupan sosial budaya dan sosial ekonomi. Di dalam muámalah, pandangan agama terhadap aksi sosial dan amaliah senantiasa disandarkan kepada makna kaidah yang disebut maqashid al-syari’ah. Oleh Ibn al-Qaiyim al-Jauziah (19977:14) syariát itu senantiasa di dasarkan kepada maqashid syari’ dan terwujudnya kemaslahatan masyarakat secara keseluruhan baik di dunia maupun di akhirat, merupakan tujuan yang sesungguhnya.
Di samping itu tentu juga harus dipertimbangkan antara kemaslahatan atau manfaat dan mafsadat (keburukan), di mana menghindari keburukan jauh lebih baik daripada mengambil kebaikan . Sebangun dengan itu, mengambil yang terbaik daripada yang baik harus pula diutamakan
Di dalam kaitan ini maka bila dunia pariwisata membawa kepada kemanfaatan maka pandangan agama adalah positif. Akan tetapi apabila sebaliknya yang terjadi, maka pandangan agama niscaya akan negatif terhadap kegiatan wisata itu. Di dalam hal ini belaku kaidah menghindari keburukan (mafsadat) lebih utama daripada mengambil kebaikan (maslahat).
Oleh karena itu, pandangan agama akan positif kalau dunia kepariwisataan itu dijalankan dengan cara yang baik untuk mencapai tujuan yang baik. Agama akan berpandangan negatif terhadap wisata walaupun tujuan baik untuk menyenangkan manusia dan masyarakat tetapi dilakukan dengan cara-cara yang menyimpang dari kemauan syariat, maka hal itu ditolak.
Wisata yang menyimpang pasti bertentangan dengan agama. Terhadap hal ini, agama apa pun mengharamkannya. Lebih dari itu, pariwisata dapat pula menjadi media penumbuhan kesadaran, keimanan dan ketaqwaan serta mencapai nilai-nilai kehidupan yang luhur dan tinggi. Pada tataran ini, maka nilai-nilai filosofis adagium Minangkabau yang tertuangkan dalam ungkapan adat basandi syara, sayara’basandi kitanbulla (ABSSBK) akan terkait dengan kepariwisataan.
Untuk maksud yang terakhir ini, maka diperlukan perhatian yang proporsional dalam hubungan agama dan kepariwisataan. Dan hal ini merupakan keharusan bagi Indonesia yang mempunyai filsafat hidup berbangsa bernegara berdasarkan Pancasila yang pada sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk maksud itu semua maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut. Pertama, nilai-nilai luhur agama menjadi amat penting menjadi motivator dan sumber nilai ideal dalam pengembangan kepariwisataan. Tentu saja diperlukan suatu pendekatan persuasif, interaktif, komunikatif dan produktif antara pelaku dunia wisata seperti PHRI, ASITA, Dinas Pariwisata dan pemimpin formal dan informal di peringkat paling strategis, termasuk pimpinan dan tokoh di kenagarian pada wilayah rural dan kelurahan di wilayah urban. Termasuk ke dalamnya semua warga masyarakat harus di gesa untuk memahami kepariwisataan yang ideal. Lebih-lebih lagi di dalam Islam, semua aktifitas yang baik dan mengandung nilai-nilai positif serta dilaksanakan dengan cara yang baik, selalu bernilai ibadah.
Yang diperlukan bagi para ulama dan tokoh masyarakat adalah suatu pemahaman bahwa dunia wisata adalah bagian dari kebutuhan jasmani dan ruhani manusia yang terbimbing ke arah yang baik dan benar, terjauh dari yang berbau maksiat. Simbol-simbol kepariwisataan di antaranya dibolehkannya atau bahkan dibiasakannya petugas hotel dan wisata memakai busana muslim dan muslimah, tentu saja akan membuat warga umat Islam umumnya dan masyarakat sekitar pada khsusunya, terjauh dari prasangka buruk. Dunia perhotelan haruslah dijauhi dari hal-hal yang bertentangan dengan nilai dan budaya Islami.
Selanjutnya diperlukan pengaturan tamu hotel yang harus benar-benar dijauhkan dari penggunaan obat terlarang dan sejalan dengan pencegahan praktek-praktek pergaulan bebas lintas kelamin yang tidak syah. Ini semua secara implisit merupakan bentuk ideal kemaslahatan yang menunjang kepariwisataan. Begitu pula pertunjukan yang disajikan seniman atau pelaku seni pada dunia wisata ditampilkan dalam batas-batas kewajaran dengan memperhatikan nilai adat dan agama.
Kedua, nilai-nilai ideal Islam tentang disiplin, kebersihan, kesantunan, kesabaran, keikhlasan dapat pula hendaknya menjadi rujukan bagi masyarakat pelaku dunia wisata dan masyarakat pada umumnya. Sejalan dengan itu komponen umat yang senantiasa terjun ke masyarakat seperti da’i atau mubbaligh dan muballighat, jama’ah pengajian, majelis ta’lim dan lainnya dapat diberdayakan pula untuk mengajak masyarakat luas menggunakan fasilitas wisata seperti toilet umumfasiltas umum dan objek wisata sebagai sesuatu yang mesti dipelihara kerapihan, kebersihan dan kenyamanannya secara bersama-sama dan untuk kemaslahatan (kebaikan) bersama.
Ketiga, para pekerja sektor wisata seperti sopir angkutan wisata, interpretor, pemandu wisata, travel agent, tour leader (pimpinan perjalanan) dan pramuwisata lainnya pada dasarnya merupakan representasi pencerminan apakah agama berperanan terhadap pengembangan wisata yang ideal. Apabila mereka menjalankan tugasnya secara baik, etis atau berakhlakul karimah, dan bagi yang beragama (Islam) menjalankan ibadahnya serta menyediakan waktu pula bagi peserta wisata menjalankan ibadah mereka, maka otomatis mereka bekerja sambil beribadah.
Keempat, objek wisata yang memberikan dampak nilai-nilai spiritual yang biasa disebut wisata ziarah atau wisata budaya diharapkan semakin diperkaya di samping objek lainnya. Begitu pula item-item dan pajangan bernilai sejarah, kultural, dan bernuansa religi yang terdapat di museum, gallary dan sebagainya seyogyanya diperkaya dengan hasil karya dan produk serta peninggalan yang menunjukkan jati diri bahwa artifak bernuansa agama juga tertampilkan dalam visualisasi yang memadai.
Kelima, fasilitas, perlengkapan, peralatan, akomodasi dan konsumsi. Pada setiap tempat objek wisata hendaknya di samping dilengkapi dengan toko souvenir, toilet dan sebagainya, seharusnya disediakan tempat sholat atau tempat ibadah serta ketersediaan air yang memadai untuk berwuduk yang bersih dan memadai. Penyediaan ruangan ibadah, sajadah, kitab suci al-Qur’an di laci meja atau fasilitas ibadah di dalam kamar atau di ruangan lain seperti mushalla dan masjid di dalam komplek perhotelan, amatlah penting dan komplementer. Lebih dari itu, makanan dan minuman yang disajikan terutama untuk wisatawan lokal dan domistik, harus dijamin kehalalannya. (Shofwan Karim, 2003:6-8)

IV. Penutup.
Dengan bahasan beberapa landasan normatif-tekstual dan empirik aktual tadi, tidak ada alasan bagi umat Islam untuk bersikap pasif di dalam mengembangkan dunia kepariwisataan. Karena nilai-nilai luhur Islam seperti yang diisyaratkan firman Allah swt pada bagian terdahulu, tidak ada yang bertentangan dengan kepariwisataan yang bersifat ideal.
Akan tetapi bila kepariwisataan itu hanya berkisar antara sun, sand, sea, smile and sex, dengan lebih mementingkan berjemur diri di panas pantai dengan pameran aurat dan penyalahgunaan dunia entertainment (hiburan) serta pergaulan bebas di luar ketentuan syari’at, maka hal itu bertentangan dengan nilai-idealdan tentu saja tidak mungkin cocok (compatible )dengan pandangan agama ( Islam).
Sebaliknya bila wisata yang dikembangkan benar-benar berfungsi untuk kepentingan kesejahteraan lahiriah dan batiniah yang sehat, khairat, ma’rufat tanpa maksiat dan mungkarat, inilah yang dituju . Wa Allah a’lam bi al-shawab. ***








Kepustakaan
Al-Qur’an al-Karim.

Encarta. Encylopedia Delux. Microsoft: t.t.p, 2002. CD 2

PTIQ. 1983. Pancaran Al-Qur’an terhadap Pola Kehidupan
Bangsa Indonesia. Jakarta . Pustaka Al-Husna.

Karim, Shofwan. 2003. “ Dakwah sebagai Media Pengembangan
Kepariwisataan.”. Padang: Dinas Parsenibud Sumbar.
Makalah.Forum Pertemuan antara Seniman, Budayawan,
Pemuka Agama, Adat serta Usaha Pariwisata (PHRI-
ASITA) dan MUI, 16 Juni di Bumi Minang Hotel.

Muhammadiyah, Suara. 1988. “Industri Pariwisata”. Yogyakarta.
PP Muhammadiyah. No. 18/68.

Mu’in, KHM Taib Thahir Abd. 19866. Ilmu Kalam. Jakarta.
Wijaya. Cet. VIII.

Natsir, M. 1969. Fiqhud-Da’wah : Jejak Risalah dan Dasr-dasar
Da’wah. Jakarta: Kiblat.

Nasution, Harun. 1979. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya.
Jakarta. UI Press. Jilid I.

Comments

Popular posts from this blog

Islam di Minangkabau

Otonomi dan Perjuangan Pribumi Indian di Amerika

Sufyarma Sahabat Abadi: Ligat, Liek, Tegas dan Santun